Selasa, 03 Juni 2008

Mengajak Perempuan untuk Berpolitik

Joko Sulistyo

Upaya peningkatan 30% keterwakilan perempuan di parlemen merupakan sebuah tindakan sementara (alternative action) yang saat ini bisa kita lakukan. Namun langkah awal tersebut tentu saja harus dikelola dengan sebaik-baiknya.

Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Parpol dan Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu telah mewajibkan partai politik memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan dari tingkat propinsi sampai tingkat kabupaten/kota. Undang-undang tersebut tentu saja tidak lepas dari hasil kerja keras dari gerakan perempuan yang terus mengawal dalam pembahasam undang-undang tersebut.

Kebijakan yang sudah adapun tidak akan berhasil kalau saja tidak disertai dengan upaya-upaya yang kongkrit untuk mendukung realisasinya. Mendorong perempuan untuk berpolitik adalah salah satu hal yang dapat dilakukan. Selain itu memberi pemahaman bahwa dunia politik bukan hanya dunia laki-laki dan perempuan harus ikut andil didalamnya adalah satu hal yang tak kalah penting.

Parpol sendiri seringkali menjadikan rendahkan partisipasi perempuan di ruang publik, terutama di daerah sebagai alasan menggapa mereka tidak bisa memenuhi kuota 30% wakil perempuan di tingkat Popinsi dan kabupaten/kota.

Demi mendorong partisipasi perempuan di ranah politik tersebut Program Studi Kajian Wanita bekerjasama dengan Tifa Foundation menerbitkan buku dengan judul Perempuan Ayo Berpolitik, Jadilah Pemimpin (cerita bergambar)" karya Shelly Adelina dan "Advokasi Kebijakan Pro-Perempuan" karya Ratna Batara Munti.

Buku tersebut diluncurkan dalam peringatan 10 tahun reformasi dan 100 tahun kebangkitan nasional. Diskusi peluncuran buku tersebut menghadirkan narasumber Ganjar Pranowo dari Fraksi PDI-P DPR dan Ibu Latifah Iskandar Anggota Fraksi PAN DPR. Acara yang dilangsungkan di Hotel Ibis Tamarin Jakarta pada hari Rabu, 23 Mei 2008 ini juga menghadirkan Ani Soecipto sebagai pengamat politik dan juga di moderatori oleh Nur Iman Subono.

Perempuan politikus adalah kelompok yang sulit menyeberangi jurang kesetaraan. Hal tersebut sampaikan Shelly dalam bukunya. Selama ini dunia politik diidentikan dengan dunia yang kotor dan milik laki-laki yang membuat perempuan tidak nyaman berada didalamnya.

Sementara itu Buku Ratna Batara Munti yang berjudul “Advokasi Kebijakan Pro-Perempuan” dikatakan Ratna merupakan pendokumentasian gerakan dari gerakan perempuan dalam mengadvokasi undang-undang diparlemen. Ratna mengatakan bahwa advokasi kebijakan merupakan sebuah strategi untuk memastikan adanya jaminan hukum yang efektif untuk perlindungan serta pemenuhan hal.

Menurut Ratna, Mendorong adanya sebuah kebijakan yang positif dan 'bunyi' di masyarakat merupakan satu cara masuk untuk kepentingan jangka panjang. Yakni, mengubah struktur sosial dan budaya yang ada selama ini, yang melanggengkan ketidakadilan struktural terhadap perempuan.

Keberhasilan beberapa undang-undang seperti UU PKDRT, UU PTPPO, amandemen UU Kewarganegaraan tak luput dari usaha keras kelompok perempuan dalam mengadvokasi kebijakan tersebut. Ratna memberikan contoh misalnya dalam mengadvokasi RUU Penghapusan PKDRT, kelompok perempun mengedepankan politik kebertubuhan mereka, tubuh perempuan bukan objek kekerasan.

Latifah Iskandar sendiri mengakui behwa partisipasi perempuan jadi pemilih cukup tinggi, tapi kurang dalam partisipasi politik. Minimnya partisipasi politik perempuan, sedikit banyak, akan berimplikasi pada kebijakan politik yang pada akhirnya kurang mengakomodasi kepentingan perempuan.

Membuka ruang untuk publik ketika pembahasan sebuah undang-undang adalah strategi yang dilakukan Ganjar Pranowo untuk mendapatkan masukan-masukan dari masyarakat luas. Sehingga undang-undang yang dihasilkanpun akhirnya dapat mengakomodir kepentingan bersama.*

Read More...

Peranan Perempuan Membangun Perdamaian

Latifah dan Ary Budiyanto

Partisipasi perempuan dalam mengupayakan perdamaian terwujud dalam banyak cara. Demikian inti film dokumenter “Woman in Front Line” produksi Peace by Peace yang didiskusikan di Rumpun Tjoet Njak Dien, Yogyakarta, pada 9 Mei 2008. Melalui Ta’lem Education di Afganistan, pendidikan terhadap perempuan berperan meredam terorisme dan membuka mata dunia bahwa Afganistan sekarang terbuka dan masih membutuhkan bantuan. Program pendidikan ini juga membuka akses perempuan untuk bersuara dan bekerja serta mendapatkan fasilitas kesehatan dan air bersih.

Di belahan dunia lainnya, Women Peace Center berperan sebagai media alternatif untuk mengurai ketegangan akibat konflik antaretnik Hustsu dan Tutsi karena media utama dianggap hanya ingin menulis apa yang enak didengar, bukan yang sebenarnya. Siaran radio mereka membicarakan secara terbuka peristiwa-peristiwa yang dapat memicu konflik antaretnis itu sehingga dapat meredam rumor-rumor yang beredar di jalanan yang berpotensi meneror masyarakat dengan menciptakan ketakutan.

Dalam program lainnya, Women for Women, perempuan saling berbagi cerita mengenai peristiwa traumatis yang dialaminya akibat konflik Sarajevo-Bosnia. Selain berperan melepaskan kepedihan, dalam kelompok diskusi ini, perempuan juga belajar untuk memaafkan sehingga terbangun proses rekonsialisasi. Melalui proses ini, terbukti bagaimana para istri selanjutnya berperan mendorong suami mereka untuk juga memilih jalan damai daripada memelihara pertikaian.

Upaya rekonsialisasi juga dilakukan oleh para perempuan korban peristiwa 11 September di Amerika Serikat. Mereka menyatakan solidaritas mereka terhadap para penyintas dengan mengunjungi para penyintas perang di Afganistan dan Irak. Mereka juga secara aktif mengkritik kebijakan pemerintah seputar perang dan penanganan korban, terutama korban sipil.

Di Indonesia sendiri peran aktif perempuan dalam membangun rekonsialisasi mendapat apresiasi dengan diberikannya penghargaan khusus kepada Midori Hirota dalam pembukaan pameran seni visual 100 Tahun Kebangkitan Nasional di Jogja Galeri pada 20 Mei 2008. Dalam pameran yang berlangsung hingga 12 Juni 2008 itu, masyarakat dapat menyaksikan rekaman visual upaya seniman asal Jepang yang cukup lama tinggal di Indonesia ini dalam membangun rekonsialisasi internasional dengan para mantan tentara PETA. Upayanya itu didorong oleh trauma akibat perang yang dialami kakeknya yang terpaksa menjadi tentara Jepang di Indonesia. Saat menemui para mantan tentara PETA itu, ia memberikan patung kecil karyanya dengan harapan dapat menukarnya dengan kisah penderitaan mereka dalam perang yang selama ini hanya terpendam. Midori juga mengadakan pameran bertajuk “Memori of Asia” di Aichi Prefectual Museum of Art, Nagoya, Jepang.

Upaya menguak sejarah terkait dengan hubungan Indonesia dan Jepang juga dilakukan oleh Sri Pangastoeti dari Fakultas Ilmu Budaya, UGM, Yogyakarta. Dalam historiografi Jepang, fakta sejarah adanya karayuki-san kurang diungkap. Penulisan sejarah Jepang masih dinilai timpang karena hanya menonjolkan kesuksesan perempuan yang pergi ke luar negeri (karayuki-san) pada masa Meiji, sementara kisah kelam karayuki-san yang dieksploitasi terbenam. Dalam diskusi tentang Perempuan di Cina dan Jepang di Pusat Studi Wanita UGM, Yogyakarta, pada 23 Mei 2008, Sri memaparkan hasil risetnya mengenai karayuki-san yang terjadi sekitar seabad yang lalu. Berdasarkan pada catatan Muraoka Iheiji, seorang perantara penjualan perempuan Jepang ke Asia Tenggara, Sri mengemukakan bagaimana jaringan perdagangan perempuan jepang berkembang di Asia Tenggara. Karayuki-san di Indonesia pada masa kolonial mencakup praktik di rumah bordil, pekerja seksual terselubung di restoran dan kedai kopi, salon, penginapan, dan pekerja rumah tangga sekaligus sebagai istri simpanan majikan (Belanda). Mereka masuk melalui Medan dan selanjutnya dibawa ke Jawa hingga Makasar.

Sri melihat berbagai faktor yang menyebabkan karayuki-san: kemiskinan (faktor alam dan kebijakan pemerintah Meiji yang tidak adil, terutama bagi perempuan); budaya patriarki yang menganggap perempuan sebagai aset yang berharga yang dapat dimanfaatkan pada saat keluarga dalam kesulitan ekonomi sehingga perempuan mengalami eksploitasi ekonomi, fisik, dan seksual; model dari karayuki-san yang sukses; dan kondisi di luar Jepang, seperti Singapura yang saat itu sedang giat membangun wilayahnya yang melibatkan berbagai ekses seperti pemenuhan hasrat seksual para pekerja migran. Para perempuan Jepang itu bukan saja mengalami eksploitasi di negara tujuan, mereka juga mengalami penyiksaan dan perkosaan selama dalam perjalanan.

Terkait dengan kondisi perempuan Jepang masa kini, meskipun banyak kemajuan yang diraih perempuan Jepang, Sri memandang domestikasi perempuan masih kuat sekarang. Karena itu, aktivis perempuan disana mendorong keterlibatan laki-laki dalam mengurus rumah tangga, misalnya dengan kampanye melalui poster-poster yang menggambarkan kepedulian laki-laki dalam mengurus anak. *

Read More...

Kamis, 22 Mei 2008

Migran Indonesia dalam Jeratan Hutang

Hongkong adalah salah satu negara tujuan pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI). Pemerintah Indonesia sendiri menargetkan 700.000 pengiriman TKI ke negara ini dan saat ini, sekitar 120.00 TKI bekerja di sana. Mayoritas adalah perempuan, sedang kaum laki-laki hanya berjumlah sekitar 1%. Perempuan-perempuan tersebut kebanyakan berprofesi sebagai pembantu rumah tangga. Hal ini diungkapkan Eni Lestari, Ketua ATKI-HK (Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia-Hong Kong), dalam diskusi publik bertajuk “Gerakan Pemberdayaan Perempuan dalam Konteks Muslim” yang berlangsung di Jakarta, Senin (28/4).

Seperti TKI di negara lain, TKI di Hongkongpun kerap bermasalah. Permasalahan ini sudah dimulai sejak proses perekrutan. Adanya kebijakan yang mengharuskan pengiriman TKI melalui PJTKI swasta merupakan salah satu bibit permasalahan. Ketika melakukan perekrutan banyak PJTKI tidak memberikan informasi awal. Hal itu juga mengakibatkan hampir 100% buruh migran Indonesia terjebak dalam jeratan hutang (debt bodage) karena mulai perekrutan sampai mereka ditempatkan di negara tujuan harus diongkosi sendiri oleh calon TKI. Adanya penyitaan paspor oleh perekrut juga menjadi persoalan tersendiri bagi mereka. Hal ini tentu saja menjadikan ruang gerak bagi mereka sangat terbatas dan tidak dapat berbuat apa-apa ketika terjadi kekerasan yang menimpanya.

Menurut survey yang dilakukan oleh PILAR, sekitar 40% migran Indonesia di Hongkong disita paspornya oleh agensi. Hal ini dilakukan untuk menyandera buruh migran agar mereka membayar biaya penempatan senilai HK$21.000 dan tidak lari dari majikan meskipun mereka mendapat perlakukan kasar, juga agar buruh migran tersebut mematuhi agensi.
Konsulat sendiri telah mengeluarkan surat keputusan yang ditujukan kepada asosiasi agensi Hongkong agar mereka melepas paspor buruh migran yang mereka sita dan menghukum mereka yang tidak melakukannya. Dengan syarat inipun belum sepenuhnya kuat karena masih banyak orang Indonesia yang belum mendapatkan paspor mereka kembali hingga sekarang.

Baru-baru ini Konsulat mengakui bahwa ada sekitar 150 orang Indonesia memperbarui paspor mereka setiap hari. Waktu pendaftaran yang hanya pagi hari mengakibatkan waktu dua minggu untuk mendapatkan paspor mereka kembali. Konsulat yang hanmpir tidak memberikan pelayanan pada hari minggu disaat para buruh migrant memperoleh libur merupakan permasalahan tersendiri bagi mereka. Hal ini tentu saja karena kebanyakan dari mereka adalah pekerja domestic sehingga mereka harus membujuk majikan mereka terlebih dahulu agar bisa meninggalkan rumah pada pagi hari.

Menanggapi permasalahan ini, pemerintah pusat di Jakarta telah menunjuk konsulat di Hongkong untuk memenuhi kebutuhan rayat Indonesia di Macau.(JS)

Read More...

Rabu, 21 Mei 2008

Luka Mei, Setelah 10 Tahun

Sepulang menghadiri acara Peluncuran Laporan Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan Seksual Mei 1998 dan Dampaknya “Saatnya Meneguhkan Rasa Aman: Langkah Maju Pemenuhan Korban Kekerasan Seksual” di halaman kantor Komnas Perempuan, Kamis (15/5), seorang kawan saya bertanya, “Bagaimana perkembangannya [kasus kekerasan Mei ‘98]?” Kawan saya itu seorang perempuan keturunan Tionghoa. Saya lupa bertanya di mana ia ketika kerusuhan 10 tahun lalu itu terjadi. Namun, andaipun ia selamat pada bencana yang terjadi saat itu, dari smsnya saya menangkap adanya kengerian yang sangat. “Dari tadi pagi mau nangis inget kerusuhan Mei. Rasanya sakit banget.”

Dalam temuan yang dipaparkan Pelapor Khusus Prof. DR. Saparinah Sadli terekam bahwa korban kekerasan seksual Mei 1998, yaitu perempuan-perempuan dari etnis Tionghoa, sebagian besar memilih bungkam. Selebihnya, mencoba memutus hubungan dengan masa lalu dengan cara meninggalkan Indonesia atau berganti identitas. Mereka bersikap demikian karena “masih terbatasnya landasan legal dan adanya budaya impunitas yang telah menciptakan kondisi yang belum bisa meneguhkan rasa aman perempuan korban kekerasan seksual Mei 1998.”


Bukan sekali ini tubuh perempuan menjadi ajang unjuk kekuasaan pihak-pihak yang merasa perlu melanggengkan kekuasaan tersebut. Dalam situasi konflik tubuh perempuan dikenali sebagai identitas komunitas. Penguasaan terhadap tubuh perempuan dari pihak musuh adalah strategi yang kerap dilakukan untuk menguasai dan menjatuhkan lawan. Komnas Perempuan, sebelumnya, telah mencatat kasus serupa pada masa konflik di Aceh, Papua, dan Timor Timur.

Dalam konteks tragedi Mei, kekerasan seksual yang terjadi, antara lain berupa gang rape (perkosaan yang dilakukan oleh sekelompok orang secara bergantian pada satu waktu kejadian), adalah skenario yang telah dipersiapkan “sebagai bagian dari kerusuhan itu sendiri.” Pengerusakan tubuh perempuan ini diartikan sebagai “puncak pelampiasan kemarahan sekaligus pernyataan penaklukan atau kekuasaan atas komunitas Tionghoa.” Meskipun bukan merupakan konflik etnis, komunitas Tionghoa adalah sasaran yang dibidik dalam kerusuhan tersebut. Sejak mula, rezim menurut Charles Coppel, Orde Baru telah mengkambinghitamkan komunitas Tionghoa dengan melabeli mereka sebagai penjahat komunis, tukang sabotase perekonomian (hlm. 20).

Ada!
Hampir mustahil membentengi perempuan dengan rasa aman kalau kasus kekerasan seksual itu sendiri diragukan keberadaannya. Dalam laporannya, mantan komisioner Komnas Perempuan itu menulis, “Sebagian pejabat Negara masih menganggap tindak kekerasan seksual Mei 1998 sebagai DUGAAN selama belum adanya pembuktian hukum.” Sementara itu, “pembuktian secara hukum” itu sendiri dirasa sangat menyulitkan “akibat minimnya bukti dan tidak ada korban yang mau bersaksi.” Di luar itu, kita patut bersedih karena “selama ini berbagai upaya penegakan kasus pelanggaran HAM belum pernah mengangkat adanya kasus kekerasan seksual terhadap perempuann, meskipun tidak lagi menjadi rahasia bahwa dalam setiap kekerasan bersenjata selalu juga terjadi kekerasan seksual.”

Untuk membesarkan hati kita, perempuan yang kerap disapa Ibu Sap ini mencatatkan komitmen pemerintah, berupa pengesahan UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (atas rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan 13-15 Mei 1998) dan peratifikasian sejumlah konvensi dalam undang-undang, antara lain Konvensi Anti Penyiksaan, Konvensi Anti Diskriminasi Rasial, Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, dan Kovenan Hak Sosial, Ekonomi, dan Budaya. Pertanyaan selanjutnya, apakah cukup dengan itu?

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta menjawab, “Kita tidak boleh hanya mengutuk, tetapi juga mencegah supaya [kejadian Mei] tidak terulang lagi.” Dengan cara, lanjutnya, mengubah pola pikir dan menanamkan pemahaman tentang anti kekerasan dimulai dari unit terkecil masyarakat. Meutia tidak menampik bahwasanya penguatan landasan hukum juga perlu dilakukan. Karena itu, sambung Ibu Sap, UU tersebut perlu ditindaklanjuti pada peraturan pelaksanaannya dan kerangka kebijakan yang memberi manfaat langsung bagi perempuan korban kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 98, dan dalam berbagai konteks konflik bersenjata lainnya.

Upaya tersebut dalam terlihat dengan segera direvisinya aturan hukum tentang perkosaan agar memenuhi standar internasional, segera pula membentuk lembaga perlindungan saksi dan korban, dan mengintegrasikan Jakarta Protocol yang disusun oleh Ikatan Dokter Indonesia sebagai alat penyelidikan pelanggaran HAM berbasis gender. Sebagai Pelapor Khusus Tragedi Mei, Ibu Sap mengajak masyarakat untuk membantu pemulihan perempuan korban dengan “memastikan sejarah perkembangan didasarkan pada kebenaran” dan, sebagaimana juga dituturkan Ketua Komisioner Komnas Perempuan Kemala Chandrakirana, terus berupaya melawan lupa akan Tragedi Mei 1998, juga tragedi-tragedi lainnya yang memberi ruang terjadinya kekerasan seksual pada perempuan.(RA)

Read More...

Jumat, 16 Mei 2008

Mendongkrak Partisipasi dan Perlindungan Perempuan melalui KIE

Indonesia bukanlah negara konflik. Namun, kita tidak dapat menutup mata akan adanya beberapa wilayah yang menjadi lahan pertempuran—baik dengan motif pertentangan etnis, agama, ataupun perebutan sumber daya alam. Apapun pemicunya dan seberapapun besarannya, konflik selalu menyasar perempuan dan anak-anak sebagai korban. Di Aceh, menurut berbagai sumber, sebagaimana dikutip Adriana Venny, pada masa pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) kasus perkosaan yang teridentifikasi sebanyak 40 kasus. Belum lagi kasus pelecehan seksual, kekerasaan seksual pada saat interogasi, ditangkap dan ditahan karena aktivitas politik suami atau keluarga. Korban rayuan militer juga terjadi hampir di seluruh daerah konflik yang melibatkan aparat keamanan.

Komnas Perempuan mencatat, di Aceh, kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi selama masa konflik sampai penandatangan perjanjian perdamaian sebanyak 103 kasus. Kekerasan juga terjadi di dua daerah lain yang pernah diterapkan DOM, Papua dan Timor Timur (saat itu Timor Timur masih menjadi wilayah Indonesia). Pelapor khusus PBB menerima laporan dari Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi bahwa sebanyak 853 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi antara tahun 1974 sampai dengan 1999. Sebagian besar kekerasan berupa perkosaan, kekerasan lainnya berupa perbudakan seksual. Dan sebagaimana diungkapkan Venny, pelaku utamanya adalah militer dan polisi.

Data-data yang disebutkan Venny, yang dicatat Komnas Perempuan, dan yang diterima Pelapor Khusus PBB bukanlah sekedar angka. Satu saja kasus yang terjadi itu sudah jumlah yang terlalu banyak. Oleh karena itu, dalam Workshop Penyusunan KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) Perlindungan Perempuan di Daerah Rawan Konflik yang digagas Kementerian Pemberdayaan Perempuan selama 2 hari (6-7 Mei), di Bogor, sejumlah kalangan terkait, di antaranya pemerintah dan LSM, diundang untuk merumuskan bahan KIE untuk meningkatkan perlindungan dan partisipasi perempuan di wilayah konflik.


Payung Hukum
Dalam tataran internasional, penanganan konflik mengacu pada resolusi 1325. Resolusi ini, meskipun dilahirkan oleh Dewan Keamanan PBB yang notabene beranggotakan 5 negara besar dengan hak vetonya, sesungguhnya lahir atas desakan sejumlah NGO yang bekerja di ranah akar rumput. Dalam pelaksanaannya sendiri, Indonesia yang turut menandatangani resolusi tersebut 8 tahun lalu telah mengimplementasikannya dalam pelbagai kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut tidak secara langsung berpayung pada resolusi yang disepakati di New York, 31 Oktober tersebut. Indonesia sendiri telah lebih dulu mengintegrasikan keterlibatan perempuan dalam pelbagai bidang melalui program pengarusutamaan gender yang mengacu pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).

Tahun lalu, Indonesia telah mengesahkan UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Di dalamnya, termasuk juga mengatur soal bencana sosial/konflik. Sayangnya, sejumlah pihak menengarai pasal tersebut belum responsif gender. Dengan demikian, menjadi penting pula untuk mengawal pembahasan RUU Penanggulangan Konflik yang sedang dibahas. Bersamaan dengan itu, partisipasi dan perlindungan yang menjadi kata kunci dalam pertemuan 2 hari tersebut sedang didorong agar diteguhkan dalam berbagai fase konflik. Mulai dari meningkatkan pengetahuan tentang konflik dan cara penanganan yang responsif gender sampai proses perdamaian yang sudah seharusnya menyertakan perempuan.

Peran serta perempuan yang digagas tesebut tidak akan bisa diwujudkan dengan daya perempuan sendiri. Sebagiamana lazim diketahui, ketertinggalan perempuan dalam pelbagai aspek kehidupan seringkali disandung masalah adat dan agama. Oleh karena itu, dalam KIE tersebut, tokoh masyarakat dan adat, juga pemerintah, didesak pula untuk memberi ruang bagi perempuan untuk aktif pada masa konflik dan dalam proses perdamaian.(RA)

Read More...

Kamis, 01 Mei 2008

Bukan Sekadar Gerakan Maya

Sofia Kartika

Menjelang 21 April yang lalu, seorang kawan saya yang mengajar di sebuah sekolah dasar diprotes wali murid. "Kenapa sekarang Hari Kartini tidak diperingati dengan parade berkebaya?" katanya. "Kamu kan aktivis perempuan. Menurutmu, kenapa ya?" katanya menyambung.

Sebenarnya tidak perlu berlabel aktivis perempuan untuk menjawab pertanyaan itu. Pergerakan waktu meminta orang merespons zaman sesuai dengan kebutuhannya. Di masa blog menjadi bagian dari keseharian ini, perempuan menegaskan keberadaan dirinya dengan menciptakan ruang-ruang di blog, salah satunya sebagai refleksi gerakan perempuan.


Jejaring
Sekitar 2003, Labibah Zain, seorang ibu rumah tangga, berinisiatif membangun sebuah jejaring di dunia maya untuk berkomunikasi kembali dengan teman-teman lamanya melalui sebuah jaringan komunitas bernama Blog Family--atau biasa disebut Blogfam. Mengingat domisilinya di Kanada, cara inilah yang menurut dia paling tepat dilakukan. Jejaring ini salah satunya memfasilitasi kelompok perempuan berbagi cerita tentang kehidupan sehari-hari. Topik-topik yang sebelumnya didomestifikasi, seperti pengasuhan anak dan memasak, mengemuka pada media alternatif tersebut. Berbaur dengan isu pendidikan, kesehatan ibu dan anak, dan informasi mengenai pernikahan lintas negara--seperti yang dilakukan Hartatinurwijaya di 1000womenpeaceindonesia.blogspot.com--mengisi ruang-ruang di blog.

Selain Blogfam, banyak lagi komunitas maya dilahirkan. Kelompok-kelompok tersebut hadir untuk menjembatani perempuan di berbagai kalangan dan latar belakang. Di samping berbagi informasi dan pengetahuan, komunitas maya ini hadir untuk menjawab kebutuhan kelompok perempuan membentuk jaringan. Disusunlah kelompok sesuai dengan kekhasan masing-masing. Ada kelompok yang berani memasak dan membuat kue, ibu yang berbagi pengalaman mengenai air susu ibu eksklusif, kelompok rajut, dan kelompok belajar bahasa.

Tak ketinggalan para aktivis perempuan. Sekumpulan aktivis perempuan yang melakukan dampingan pada korban 1965 membentuk sebuah blog untuk merekam hasil advokasi mereka. Hal yang sama dilakukan aktivis lain yang mengadvokasi isu pemberdayaan ekonomi. Mereka melahirkan blog masing-masing lantas berjejaring dengan blog aktivis perempuan yang lain. Coba tengok Center for Community Development and Education Aceh. Melalui blognya, mereka mengabarkan kegiatan menguatkan kelompok perempuan di Aceh. Pelbagai kegiatan yang didokumentasikan oleh mereka dalam bentuk foto dan tulisan tentang pengalaman dampingan dibagi dan dikomunikasikan dengan aktivis lain, baik yang mempunyai fokus yang sama maupun yang berbeda.

Kelompok-kelompok yang mengambil fokus pemberdayaan ekonomi menapak lebih jauh lagi. Mereka yang memiliki usaha kecil dan menengah ini memanfaatkan blog sebagai media interaksi yang murah, misalnya usaha toko kue online, buku, sepatu, aksesori manik, dan produk lainnya. Sayangnya, proses ketersediaan ruang interaksi produsen-konsumen yang disediakan oleh blog sebagai wahana pendukung langkah-langkah pemberdayaan--yang beberapa waktu lalu digembar-gemborkan Menteri Komunikasi dan Informatika--pun terkena imbas gebyar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan rilis film Fitna. Pemberangusan beberapa situs, seperti YouTube, Multiply, dan Blogspot, tak pelak lagi mempengaruhi usaha kelompok perempuan. Sejumlah keluhan sempat ditampilkan dalam koran ini pada 11 April lalu. Beberapa pengguna jasa blog perempuan cukup tersiksa ketika layanan blog terhambat karena berakibat pada terhambatnya interaksi ekonomi.

Lembaga setingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa tak ketinggalan dalam pemanfaatan media blog ini. Terkait dengan isu pemberdayaan ekonomi, mereka mempergunakan Internet sebagai salah satu media alternatif sebagai upaya penguatan usaha kecil dan mikro. Untuk itu, rasanya tidak perlu menunggu membuat website sempurna karena blog bisa menjadi alternatif dalam menguatkan usaha kecil dan mikro dan sektor ini paling banyak dilakoni oleh kelompok perempuan. Dengan blog, salah satu persoalan dalam pengembangan ekonomi produktif oleh kelompok perempuan, yaitu jaringan, pemasaran, dan informasi, paling tidak bisa diatasi.

Terapi
Resep ini pernah diucapkan oleh seorang aktivis perempuan terpandang dari Mesir, Nawal el-Sadawi. Penulis novel Perempuan di Titik Nol ini percaya bahwa menulis adalah obat paling manjur bagi perempuan untuk menghilangkan kerut wajah, bahkan lebih baik daripada krim pemutih. Selain sebagai ruang berbagi aktivitas kelompok perempuan, blog dapat dijadikan sebagai ruang untuk menuangkan pikiran, menuliskan pandangan perempuan dalam melihat persoalan di sekelilingnya.

Seorang korban kekerasan dalam rumah tangga menggunakan blog sebagai media terapi. Ia menuliskan bagaimana kekerasan tersebut dilakukan suaminya dan bagaimana ia berulang-ulang terjebak pada lingkar kekerasan. Mekanisme comment (komentar) memberikan alternatif pilihan solusi masalahnya, seperti mengajukan proses hukum, bercerai, ditambah informasi dari pembaca blognya bahwa telah ada undang-undang yang mengatur tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Berkat "terapi" tersebut, dorongan untuk keluar dari lingkar kekerasan semakin kuat. Akhirnya dia berani mengambil keputusan cerai. Terapi menulis ini sekaligus bisa menghindarkan korban kekerasan menjadi pelaku kekerasan.

Di koran ini, pada 18 April lalu, juga pernah dikisahkan tentang seorang ibu yang ingin belajar menulis dan ngeblog. Menulis, menurut dia, adalah salah satu ekspresi diri dan cerminan berbagi pengalaman, sementara blog adalah media yang mudah dan murah. Dulu Kartini menulis sura kepada Nyonya Abendanon untuk menceritakan pengalaman dan pandangannya terhadap peristiwa yang terjadi di lingkungan di sekitarnya. Kini blog memfasilitasi perempuan untuk berbagi dan menjadikannya sebagai sebuah gerakan pemberdayaan yang nyata.


Koran Tempo, 26 April 2008

Read More...

Pemberdayaan Kedermawanan Perempuan

Latifah


Meningkatnya eksistensi perempuan secara signifikan terungkap dalam hasil survei PIRAC. Dari survei yang dilakukan pada 2007 lalu, terlihat bahwa perempuan memegang peran yang besar dalam pengambilan keputusan di keluarga berkaitan dengan kegiatan filantropi. Survei yang dilakukan sebelumnya, yaitu pada 2000 dan 2004, memperlihatkan bahwa keputusan menyumbang ditentukan oleh pihak yang mengeluarkan uang atau yang memiliki penghasilan dalam keluarga. Namun, dominasi itu mulai luruh dengan keikutsertaan perempuan dalam memutuskan sumbangan dalam keluarga. Menurut PIRAC, seperti yang dikemukakan Ninik Annisa, hal ini mengindikasikan peralihan pengelolaan keuangan keluarga sehingga pihak yang memiliki penghasilan tidak otomatis menentukan keputusan dalam pengeluaran keluarga. Eksistensi perempuan sebagai ibu rumahtangga makin diakui meskipun tidak memiliki penghasilan. Namun, di sisi lain, hal itu juga menunjukkan sulitnya kondisi ekonomi sehingga keputusan untuk menyumbang harus dipegang bersama, suami dan istri, karena dapat mempengaruhi keuangan keluarga.


Di samping temuan itu, dalam acara “Philanthropy Goes to Campus” yang berlangsung pada Kamis (17/4) di Yogyakarta ini, secara lebih khusus Retno Agustin dan Dati Fatimah dari Perhimpunan Aksara memaparkan hasil penelitiannya tentang perempuan dan kerelawanan dalam bencana di Bantul. Mereka melihat bahwa kemacetan sistem sosial di tingkat atas ternyata menjadi inspirasi dan juga alasan bagi kerelawanan perempuan dalam masa darurat. Inisiatif perempuan di beberapa komunitas menunjukkan munculnya tokoh perempuan yang sebelum bencana tidak muncul atau tidak dihitung di ruang publik. Namun, pembagian peran secara seksual dalam masa setelah bencana mereproduksi sistem sebelum bencana. Sebagai contoh, dalam program pembangunan rumah oleh pemerintah, melalui Pergub. No. 23 tahun 2006 diasumsikan tidak ada masalah gender yang harus diintervensi dalam organ pengelolaan program. Dalam prosesnya, keterlibatan dan representasi perempuan dalam Pokmas pun masih sangat rendah karena adanya segregasi ruang dan peran berbasis gender.


Masih dengan konteks Yogyakarta, Farsijana Adeney-Risakotta menyoroti pergeseran “kedemawanan” sebagai suatu profesi. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Kristen Duta Wacana ini melihat bahwa saat ini filantropi sudah menjadi arena professional; orang bisa membangun kegiatan kemanusiaan untuk sekaligus menghidupi dirinya sendiri. Meskipun tidak melihat hal itu sebagai sesuatu yang salah, Farsijana menekankan keseimbangan untuk tidak menjadikan masyarakat semata-mata sebagai objek pekerjaan-pekerjaan sosial. Terkait dengan isu perempuan dan pemberdayaan filantropi perempuan, Farsijana mengamati adanya fakta bahwa kegiatan perempuan bisa dioperasikan secara tidak professional, tidak transparan, dan menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kesetiakawanan sosial. Selain masalah yang timbul dari konstruksi sosial, Farsijana mengidentifikasi masalah profesionalisme yang terletak pada relasi kekuasaan perempuan itu sendiri.


Mengantisipasi masalah ini, sejak awal pemberdayaan kapasitas perempuan harus disertai pula dengan membangun kemampuan kritis yang rendah hati. Selain itu, mekanisme operasional organisasi juga harus dapat dipetakan sejak awal agar proses kontrol dapat terintegrasi dan berkelanjutan. Farsijana juga melihat adanya kecenderungan kekuasan terpusat dalam kepemimpinan perempuan karena ketiaksiapan perempuan di akar rumput untuk memimpin. Karena itu, ia menyarankan agar proses pengorganisasian perempuan di kalangan akar rumput tidak dilakukan dengan ketergesaan sehingga muncul kesadaran diri untuk berperan sebagai pemimpin tanpa memberatkan dirinya sendiri. Organisasi juga harus membuat mekanisme agar setiap anggota memperoleh kesempatan belajar yang sama dengan orang-orang yang duduk di posisi pemimpin.*

Read More...

Senin, 28 April 2008

Partisipasi Perempuan dalam Gerakan Lingkungan Hidup

Latifah

Di banyak daerah, perempuan memang berada di garda depan dalam perjuangan menjaga kelestarian lingkungan hidup, contohnya Ibu Diana yang menentang eksploitasi tambang di Kalimantan. Namun, secara umum partisipasi perempuan dalam membicarakan dan mengambil keputusan tentang lingkungan hidup masih rendah. Hal ini mengemuka dalam diskusi “Perempuan dan Lingkungan” di Pendopo Dusun Tembi, Yogyakarta, pada Jumat (18/4). Diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian acara Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup Indonesia (PNLH) X.

Seorang peserta dari Walhi Sulawesi Tenggara bercerita bagaimana perempuan jarang terlibat dalam diskusi lingkungan di kampung-kampung di daerahnya. Ia mengakui bahwa hal ini tidak terlepas dari kekurangan Walhi sendiri, “Ternyata yang salah Walhi-nya, yang kurang punya alat untuk mengumpulkan/mengorganisasi perempuan.” Pernyataan senada dikemukakan oleh peserta dari Walhi provinsi lain yang berpendapat bahwa upaya untuk meningkatkan partisipasi perempuan sulit terwujud bila tidak ada pendidikan politik.

Di sisi lain, seperti yang dikemukakan Damairia Pakpahan, aktivis feminis asal Yogyakarta, perspektif gender dinilai masih rendah dalam kepengurusan Walhi, yang setidaknya tampak dari pemaparan visi para kandidat Ketua Walhi. Perspektif perempuan yang masih dianggap kurang penting dalam Walhi juga terlihat dari sedikitnya peserta, khususnya laki-laki, yang menghadiri diskusi ini dibanding total peserta PNLH karena acara ini hanya menjadi acara pilihan. Karena itu, Damairia mempertanyakan gender audit di Walhi.

Menjawab persoalan ini, Farasofa dari Walhi mengungkapkan bahwa dalam periode sekarang ini sudah terbentuk kelompok kerja gender sebagai wujud komitmen organisasi untuk menciptakan gender justice. Lebih lanjut, mengenai strategi perempuan menghadapi ancaman kerusakan lingkungan, Farasofa memaparkan beberapa poin penting: perlunya gerakan yang sukses, tidak konfrontatif, tapi menyentuh esensi;
Memperjuangkan keberlangsungan hidup perempuan; perubahan perspektif menjadi “perspektif berkecukupan” seperti yang dikemukakan Vandana Shiva; dan membangun solidaritas serta partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan.

Read More...

Kemajuan Perempuan Korea

Latifah


Gerakan perempuan Korea tampaknya menunjukkan kemajuannya dengan dikeluarkannya beberapa undang-undang yang pro-perempuan. Undang-undang tersebut antara lain berisi tentang izin penggunaan nama ibu untuk anak laki-laki atau anak perempuan. Budaya Korea yang patrilineal memang lebih melazimkan penggunaan nama ayah untuk anak. Sistem kepala keluarga ini di Korea banyak menimbulkan diskriminasi. “Perempuan selalu menjadi anggota dari laki-laki”, ujar Nam Hyo Min, Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM. Sebelum menikah, perempuan dipimpin oleh ayah; setelah ayahnya meninggal, perempuan dipimpin oleh kakak laki-laki; setelah menikah perempuan dipimpin oleh suami. Menurut Nam, undang-undang ini merupakan hasil dari desakan berbagai departemen dan gerakan perempuan, “Mengubah budaya sulit, jadi mereka meminta dibuatkan undang-undang.”





Sistem peraturan lain yang pro-peraturan terkait dengan hak reproduksi perempuan. Di samping cuti melahirkan selama 90 hari, perempuan juga mempunyai hak untuk cuti selama 1 tahun untuk merawat anaknya dengan tunjangan sebanyak dua juta per bulan. Perhatian pemerintah juga ditunjukkan dengan berperansertanya pemerintah dalam membangun ruang-ruang khusus untuk ibu menyusui.


Nam Hyo Min memaparkan hal tersebut pada diskusi “Perempuan di Korea dan Perempuan dalam Tayangan Film Korea” yang diselenggarakan oleh PSW UGM pada Jumat (25/4) di Yogyakarta. Diskusi ini merupakan rangkaian acara Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Perempuan Indonesia. Selain diskusi tentang perempuan di mancanegara, PSW juga akan menggelar Seminar Internasional “Perempuan di Sektor Publik” pada 16 - 17 Juli 2008. Pembicara yang rencananya hadir pada seminar itu diantaranya Prof. Dr.Hafeez-ur Rehman and Aneela Sultana (Pakistan), Dr. Nathuram Kaswan (India), Dr. Thomas Hunter (USA), dan Prof. Dr. Timbul Haryono , M.Sc. (Indonesia). Sebagai penutup, PSW akan menggadakan pementasan Trilogi Dalang Perempuan pada 17 Juli 2008 di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardja Soemantri, Yogyakarta.



Read More...

Minggu, 27 April 2008

Kebangkitan Politik Perempuan

Adriana Venny

Tak terasa persiapan Pemilu 2009 sudah di depan mata, dan UU Parpol No.2 tahun 2008 serta UU Pemilu No.10 tahun 2008 juga sudah disahkan. Berkaitan dengan isu perempuan, UU Parpol yang disahkan pada tanggal 6 Desember, mengharuskan 30 % perempuan dalam pendirian dan pengurusan partai. Sementara UU Pemilu yang disahkan tanggal 3 Maret 2008 yang lalu mewajibkan kompisisi 3:1 perempuan dalam daftar caleg setiap parpol. Namun mengingat tidak adanya sanksi, karenanya tugas kelompok perempuan bersama dengan KPU masih sangatlah besar, terutama dalam terus memantau satu persatu tiap parpol, hingga Pemilu 2009, sudahkah mereka memasukkan 30% perempuan dalam pendirian maupun kepengurusan dan memasukkan 3:1 perempuan dalam daftar caleg. Semua ini demi agar tindakan khusus sementara 30 % perempuan di parlemen dapat terealisir. Sayapun sebagai salah satu aktivis di Lembaga Partisipasi Perempuan menyadari bahwa ini merupakan tugas kami untuk memastikan bahwa dalam Pemilu 2009 akan lebih banyak perempuan berpartisipasi dalam dunia politik.


Pertanyaannya lalu mengapa tindakan khusus sementara 30 % menjadi demikian penting? Bila hal ini kita tarik dalam inti kebijakan publik dan di kehidupan nyata, nasib perempuan Indonesiapun tidak terlampau menggembirakan, laporan PBB yang dilansir tanggal 18 April 2007 yang lalu, menyebutkan bahwa salah satu poin ketidakadilan gender, Indonesia tiap tahunnya kehilangan 2,4 milyar dollar karena diskriminasi upah di bidang pekerjaan dan partisipasi antara perempuan dan laki-laki. Hal tersebut sangat berkaitan erat dengan upaya penghapusan kemiskinan karena kenyataannya, perempuan selalu menjadi kelompok yang tertinggal dalam pembangunan. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) juga mengingatkan bahwa tujuan pembangunan milenium menetapkan tolok ukur keberhasilan yaitu turunnya separoh angka kemiskinan di tahun 2015, sedangkan kemiskinan di Indonesia masih berwajah perempuan, diakibatkan antara lain karena kemiskinan itu mendera lebih dari jumlah 60% perempuan Indonesia.



Itu mengapa, perempuan sangat penting untuk masuk dalam proses pengambilan kebijakan publik terutama dalam hal-hal yang menentukan nasibnya. Apalagi dominasi laki-laki dalam kancah perpolitikan di Indonesia ternyata berkontribusi dalam peminggiran isu-isu perempuan: dimana para laki-laki yang mendominasi lembaga legislatif baik di tingkat lokal hingga nasional, umumnya kurang sensitif pada kebutuhan perempuan.


Namun menggerakkan perempuan untuk terjun dalam dunia politik juga bukanlah hal yang mudah, faktor tradisilah yang kerap membuat perempuan enggan. Stigma bahwa kesibukan perempuan di ruang publik yang lalu menelantarkan tugasnya di ruang domestik, dan masalah money politic yang masih kuat di Indonesia, membuat perempuanpun beranggapan politik itu kotor. Padahal semakin sedikitnya perempuan yang terjun dalam dunia politik berdampak pula kepada suasana parlemen yang sangat “laki-laki” dan tidak pro perempuan.


Akibat dari menarik dirinya perempuan dari dunia politik, aspirasinya lalu kian tidak terepresentasikan: angka kematian ibu melahirkan yang masing sangat tinggi, diskriminasi upah, tingginya kasus kekerasan berbasis gender, dan seterusnya hingga merambat ke dunia politik lagi. Hasil Pemilu tahun 2004 misalnya menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan hanya mencapai 11,6 %, meski sudah ada ketentuan tentang tindakan khusus sementara (TKS) atau kuota 30% yang tertuang dalam pasal 65 (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum.


Karenanya Lembaga Partisipasi Perempuan menyadari informasi tentang pentingnya peran perempuan dalam dunia politik terus masih harus disosialisasikan sekaligus menjawab pertanyaan mengapa partispasi perempuan di semua level pengambilan kebijakan sangatlah penting. Lembaga Partisipasi Perempuan sendiri akan sangat gembira apabila dapat membantu dan bekerja sama dengan KPU dalam rangka memantau dan memastikan bahwa peraturan dalam UU Pemilu yang baru berkaitan dengan perempuan benar-benar dilaksanakan.


Selain itu berjejaring dengan Koalisi NGO yang melakukan pemantauan dan persiapan Pemilu 2009 serta berjejaring dengan ANSIPOL (Aliansi Masyarakat Sipil untuk Revisi UU Politik) terus kami lakukan. Dalam rangka Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati tiap tanggal 20 Mei misalnya, Lembaga Partisipasi Perempuan bersama dengan ANSIPOL dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI akan mengorganisir aksi damai dengan tema “Kebangkitan Politik Perempuan” yang melibatkan seluruh perempuan partai. Kami sangat menyadari bahwa berkampanye sambil mendiseminasikan informasi agar perempuan bersiap diri menghadapi Pemilu 2009 menjadi salah satu momentum yang tepat, tidak hanya dalam rangka Peringatan Hari Kebangkitan Nasional tahun ini, namun juga seterusnya dalam kehidupan berbangsa yang terus mengupayakan terwujudnya masyarakat Indonesia yang berkeadilan gender.

Read More...

Ke Mana Arah Kebijakan?

Sofia Kartika

Namanya Besse. Daeng Besse. Barangkali tak pernah terlintas di benak perempuan 36 tahun tersebut bahwa dirinya akan dibicarakan selama berhari-berhari di berbagai media massa. Tidak cuma tv dan koran di Makassar, tempat dia menumpang hidup, melainkan juga media massa di tersebar di seluruh Indonesia. Kalau bisa memilih, sekali lagi, barangkali Daeng Besse tidak ingin diberitakan seperti sekarang: meninggal ketika sedang hamil 7 bulan, yang tak mau diakui, karena kelaparan. Akan tetapi Daeng Besse seakan tidak punya pilihan. Jalan Daeng Tata, alamat terakhirnya, yang terletak tak jauh dari pusat pemerintahan Makassar tidak dapat membuatnya terjangkau dari sensus pendataan warga miskin.


Ironi tak terelakkan lagi. Apalagi jika mengetahui 3 bulan sebelum kejadian ini Gubernur Sulawesi Selatan H. M. Amin Syam mengutus Kepala Badan Ketahanan Pangan Sulsel Prof. Dr. H.A. Ambo Alla untuk menerima Penghargaan Ketahanan Pangan Tahun 2007 dari Presiden di Istana Negara, Jakarta. Dengan enggan kita terhela tamsil tua, tikus mati di lumbung padi. Dugaan kami, jangan-jangan, ketika gaung ketahanan pangan dielu-elukan, kita malah alpa siapa sasaran langsung dari program ketahanan pangan itu? Ya, mereka ini, kelompok-kelompok terpinggirkan yang bergaul sehari-hari dengan kemiskinan, dan perempuan jumlah terbanyak dalam kelompok tersebut, memang kerap terlanggar hak-haknya. Padahal, pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, budaya adalah jalan tol menuju pelanggaran hak-hak sipil dan politik (Kompas, 10 Maret 2008). Dan kematian Besse adalah satu misal tak terpenuhinya hak paling dasar warga negara, yakni hak atas hidup.



Tak kurang-kurang konvensi internasional ditandatangani. Belum lagi produk perundang-undangan yang dicetak oleh pemerintah sendiri sebagai wujud komitmen atas penandatanganan kesepakatan tersebut. Bentuk pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang telah berusia puluhan tahun telah mendorong lahirnya Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender di segala sektor pembangunan. Kita juga punya Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 132 tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah, yang mendorong adanya anggaran 5% untuk pemberdayaan perempuan. Pemerintah kita bahkan telah bersetuju merentas kemiskinan melalui Millenium Development Goals (MDGs) yang ditandatangani di New York tahun 2000.


“Kita telah secara nyata mengurangi kemiskinan,” ungkap Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional H. Paskah Suzetta, dalam laporan pencapaian MDGs 2007/2008. Target menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk dengan tingkat pendapatan kurang dari US$ 1 per hari telah mencapai angka yang ingin dicapai. Menurun dari 20% pada tahun 1990 menjadi 7,5% saat ini.


Paskah Suzetta meyakinkan, pencapaian sasaran MDGs menjadi salah satu prioritas utama bangsa Indonesia. Sasaran-sasaran ini lantas diterjemahkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009. Kemiskinan dan kelaparan menempati urutan pertama dalam target MDGs yang harus sudah terengkuh paling akhir 2015. Namun, sudahkah komitmen untuk melakukan ‘perang’ terhadap kemiskinan ini terdistribusi dengan baik sampai pada level pemerintahan paling bawah?


Karena telah tercantum dalam dokumen resmi perencanaan pemerintah nasional, maka mutlak
bagi Propinsi dan Kabupaten untuk menjadikan dokumen tersebut sebagai payung, acuan dalam mengejawantahkan kebijakannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat laki-laki dan perempuan, terutama dalam rencana kerja tahunan.


Untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat laki-laki dan perempuan, Pemerintah daerah harus menyediakan data terpilah menurut jenis kelamin. Data kuantitatif ini tidak akan berarti jika tidak ditindaklanjuti dengan melibatkan kelompok miskin laki-laki dan perempuan dalam proses perencanaan (penganggaran) di daerah, misalnya musyawarah rencana pembangunan (musrembang), dan dipastikan bahwa kebutuhan kelompok miskin ini mendapat prioritas secara proposional dalam kebijakan yang responsif gender.


Komitmen meraih target MDGs ini pun tidak hanya berputar pada perencanaan program kerja, sebagaimana halnya tidak bisa menutup kebutuhan masyarakat miskin dengan memberi raskin dan bantuan uang Rp 300.000 per keluarga. Kelompok perempuan miskin dan anak-anak yang menjadi kelompok rentan berhak mendapat akses kesehatan dan pendidikan. Kesehatan tidak hanya sebatas askeskin (yang telah berganti menjadi Jamkesmas) yang dapat digunakan saja, tetapi juga informasi mengenai bagaimana mendapatkan gizi yang baik untuk anak-anak mereka dengan kondisi yang mereka hadapi, perkenalan terhadap ragam jenis pangan, dan sebagainya.


Konsistensi untuk menghasilkan kebijakan yang responsif gender ini sebenarnya telah memiliki payung dengan melakukan pengintegrasian PUG dalam perencanaan pembangunan ini, yang ditekankan dalam Inpres No 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender, pelaksanaan PUG ini menjadi strategis untuk menjawab kealpaan pembuat kebijakan (seperti yang dituliskan dalam Kompas, 10 Maret 2008) bahwa kelompok perempuan adalah salah satu sasaran pembangunan yang dalam RPJMN 2004-2009, mutlak ditingkatkan kualitas hidupnya dan dipenuhi hak-hak dasarnya. Kiat ini sekaligus menjawab bagaimana mengembangkan program pembangunan yang mampu menyentuh kebutuhan masyarakat miskin laki-laki dan perempuan sehingga tidak ada cerita Besse yang lain.

Read More...

Kekerasan di Rumah Besse

Henny Irawati

Konon, hulu perkara adalah data. Keluarga Basri yang tinggal di sebuah sudut kawasan kumuh Makassar ini terlewat dari pendataan warga miskin. Rumahnya yang terbuat dari seng dan kayu dengan ukuran 8x4 meter tak membuat para pendata mengenali kemiskinannya. Kepala Dinas Sosial Makassar, Ibrahim Saleh, mengaku kesulitan mendata warga miskin di Makassar. “Terutama yang berpindah-pindah,” ungkapnya. Lagipula itu “dosa” Basri sendiri. “Basri tidak pernah melapor,” demikian papar Jufri, Ketua Rukun Tetangga (RT), lingkungan Basri tinggal. Tak main-main buah “dosa” yang harus ditanggung Basri; kematian istri bersama janin yang sudah memasuki usia tujuh bulan dan anak ketiganya.

“Saya tak punya uang,” ujar laki-laki yang bekerja sebagai pengayuh becak ini ketika tetangga-tetangganya menyarankan ia membawa Besse (36 tahun), istri, dan Bahir (5 tahun), anaknya, yang sudah dua hari terbaring sakit, pergi ke dokter. Gagasan “pergi ke dokter” memang terdengar mewah di telinga Basri, mengingat sekilo pun beras tak terbeli untuk makan keluarga dengan empat anak itu. Selain tak mengantongi asuransi kesehatan masyarakat miskin (Askeskin) yang telah berganti nama menjadi jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), keluarga Besse yangg tidak tercatat sebagai kelompok miskin pun tak mendapat jatah raskin.


Persoalan data membuat geram anggota Komisi II DPR Nursyahbani Katjasungkana. “Nyawa manusia seolah bisa disederhanakan menjadi data, dan data akhirnya menjadi ‘pembunuh’ karena korban tak ada dalam data orang miskin.” (Kompas, 10 Maret 2008) Data memang tidak seharusnya berhenti sebagai seonggok angka-angka, kalau dia tidak mau menjadi ‘pembunuh’. Bagaimana menjebol tembok data dan realitalah pertanyaan selanjutnya. Strategi pemerolehan data musti dibenahi dan merepresentasikan kelompok perempuan dan laki-laki. Berangkat dari data terpilah ini kebutuhan dua jenis kelamin dirumuskan menjadi penetapan anggaran dan kebijakan (program) yang responsif jender. Apakah dengan begitu lantas terpenuhi hak-hak kelompok yang terpinggirkan ini? Edriana Noerdin (WRI, 2006) memberikan satu pertanyaan lagi. Selama ini jangkauan program lebih banyak bertumpu pada program-program kerja di ruang publik. Bagaimana dengan persoalan yang terjadi di ruang privat?

Dalam kasus Besse, kematiannya dibaca sebagai imbas dari kemiskinan yang kasatmata. Namun, bagaimana dengan temuan berikut ini. “Basri menampik anaknya pernah sehari tidak makan, tetapi Salma (putri sulungnya) mengungkap sebaliknya. … “Kadang tidak makan seharian,” kata Salma. … Mina menguatkan penuturan Salma. Basse paling banter membeli beras satu liter di warungnya. “Itu pun tidak setiap hari.” (Tempo, Edisi 10-16 Maret 2008) Si pengayuh becak mengaku penghasilannya Rp 5.000 hingga Rp 10.000, terhitung kecil dibanding kawannya sesama tukang becak yang minimal bisa membawa pulang Rp 20.000-Rp 75.000. Padahal Basri, masih dari sumber yang sama, diketahui, dalam sehari dapat menghisap sebungkus rokok Rp 3.000.

Sementara Basri tengah membakar tembakau, Basse, perempuan yang sedang hamil tua itu, memutar otak, mencari celah mengelola uang tak seberapa supaya tetap bisa memberi makan seluruh suami dan anak-anaknya. Dan jangan-jangan Besse melupakan makannya sendiri. Barangkali kita belum lupa, salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu adalah lekatnya budaya kalau perempuan, terlebih ibu, mendahulukan makanan untuk anggota keluarga yang lain.

Pemerintah, atau negara, berdiri dan menutup mata pada kondisi Besse di luar pintu rumah 8x4 itu. Di dalam rumah pun situasinya tak lebih baik. Tetangga-tetangga pernah memergoki Basri membawa lima liter tuak. Kecilnya penghasilan pun ditengarai tergerogoti oleh kegemarannya main judi.

Ketika berbicara mengenai kekerasan berbasis jender di Indonesia Koordinator Anti Kekerasan Berbasis Gender (Gender Based Violence) Adriana Venny merumuskan, kekerasan itu terjadi semasa hak asasi manusia terlanggar, baik itu hak untuk hidup, hak mendapatkan pendidikan, hak untuk memilih, hak untuk mendapatkan standar hidup yang layak sebagai menusia, hak untuk berpendapat, hak untuk bebas dari penyiksaan dan hak untuk mendapatkan rasa aman sebagai manusia.

Jika mengacu pada rumusan itu, berapa hak Besse yang sudah terlanggar? Lagi-lagi, di sini persoalannya bukan kumpulan jumlah. Kekerasan yang dialami Besse bisa jadi tidak berupa pukulan atau sayatan, tetapi kejadian yang menimpanya itu bisa jadi lebih pedih, bahkan telah terbukti berujung pada kematian. Pengabaian di ruang-ruang privat adalah sebentuk kekerasan juga. Dan kekerasan beruntun yang menimpa Besse. Semoga ini bukan “peristiwa brutal yang dianggap biasa.”

Read More...

Melindungi Perempuan di Daerah Rawan Bencana

Henny Irawati

Bertempat di Hotel Puncak Raya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan mengundang sejumlah stakeholder untuk berpartisipasi dalam ”Workshop Penyusunan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) Perlindungan Perempuan di Daerah Rawan Konflik/Bencana”. Dalam pertemuan yang diselenggarakan 25 s.d. 27 Maret 2008 tersebut diharapkan dapat terumuskan 3 buku saku, 3 poster, dan 3 leaflet.


Kegiatan dibuka Drs. Subagyo, MA, selaki Deputi Bidang Perlindungan Perempuan. Kemudian dilanjutkan diskusi panel I dan II. Diskusi Panel I menghadirkan pakar gender, DR Yulfita Rahardjo, dan dr Ernanti Wahyurini yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Menteri Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Ernanti menegaskan, sasaran KIE tersebut harus jelas. Apakah masyarakat luas, petugas lapangan, organisasi pendamping, atau pemerintah. Karena hal itu akan mempengaruhi bentuk KIE seperti apa yang paling tepat untuk disusun, katanya seusai menjelaskan model-model KIE.


Sementara itu, Yulfita memaparkan mengapa perempuan penting diperhatikan dalam penanggulangan bencana. “Karena dari semua korban, kondisi perempuanlah yang paling buruk,” jelasnya. Padahal, dalam situasi bencana, perempuan justru memegang peran penting, yakni sebagai care giver dalam keluarga atau komunitas. Sayangnya, kondisi ini tidak didukung pola penanganan bencana yang sensitif gender. “Hal ini bisa juga disebabkan banyak pihak terkait yang masih belum tahu mengapa, apa, dan bagaimana (perspektif) gender dilibatkan dalam penanganan bencana.”


Satu contoh, ketika bantuan tiba, yang berhak mengakses bantuan tersebut adalah kepala keluarga, yang lazimnya berada di tangan laki-laki. Sepulang dari sana, laki-laki yang tidak mengetahui benar kebutuhan perempuan dan anak-anak, tidak membawa susu ke rumah. Apabila perempuan turut dalam antrian penerima bantuan, dia ditolak karena dianggap bukan kepala keluarga. Pengalaman ini terjadi di beberapa daerah yang pernah mengalami bencana seperti Aceh.



Dalam diskusi panel kedua, Ichsan Malik dari Institut Titian Perdamaian memilah perbedaan antara bencana alam dan bencana (konflik) sosial, mulai dari akar permasalahan, ancaman, hingga dampak dan penangannya. Ichsan merekomendasikan pelibatan perempuan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai monitoring-evaluasi. Inisiatif juga perlu digalakkan antar-anggota masyarakat ataupun sesama kelompok perempuan. Ichsan mengusulkan membangun pusat-pusat informasi dan dokumentasi bagi kiprah perempuan dalam penanganan bencana.


Paparan-paparan yang disampaikan narasumber, ditambah dengan teknik edukasi dalam KIE sebagaimana dijabarkan Dewi Salma Prawiradilaga, pengajar Universitas Negeri Jakarta, menjadi bahan bagi peserta yang terdiri wakil pemerintah—antara lain Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Pendidikan Nasional, Bakornas, Bakorsurtanal, dll.—dan wakil Ormas serta LSM—seperti PGI, Aisyiyah, Muamalat, dan Lembaga Partisipasi Perempuan—untuk membahas bahan buku saku, leaflet, dan poster untuk KIE Perlindungan Perempuan di Daerah Bencana yang dibagi dalam dua tahap; prabencana dan paskabencana.


Waktu yang pendek membuat target yang ditetapkan di atas mustahil dicapai. Pembahasan KIE Perlindungan Perempuan di Wilayah Konflik rencananya akan dilaksanakan bulan April. “Pertemuan mendatang akan lebih dititikberatkan pada Resolusi 1325,” papar Budi Mardaya dari KPP.


Read More...

Implementasi CEDAW di Pontianak, Kalimantan Barat

Joko Sulistyo

Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia. Upaya ini ditegaskan oleh Negara melalui Undang-undang No.7/Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita atau Konvensi CEDAW (Convention on the Ellimination of All Forms of Discrimination Against Women). Konvensi ini juga dikenal sebagai Bill of Women’s Rights atau Konvensi Perempuan.

Konsekuensi dari ratifikasi Konvensi tersebut adalah pemerintah suatu negara harus melaksanakan upaya-upaya penghapusan berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan, atas dasar prinsip-prinsip persamaan substantif, non diskriminatif antara lelaki dan perempuan, dan prinsip kewajiban negara (State Obligation). Pemerintah wajib menyampaikan laporan periodik tentang perkembangan pelaksanaan Konvensi CEDAW, setiap 4 tahun sekali kepada Komite CEDAW PBB. Pemerintah Indonesia telah menyampaikan laporan periodiknya yang ke-4 dan ke-5 dalam Sidang Komite CEDAW ke-39, pada tanggal 27 Juli 2007 di New York. Dan pada Bulan Agustus 2007, Komite CEDAW telah mengeluarkan Concluding Comments (Komentar Penutup) yang berisi tentang 46 butir rekomendasi yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia terkait dengan implementasi Konvensi CEDAW.

Untuk mendorong pelaksanaan Konvensi CEDAW di Indonesia CEDAW Working Group Initiative (CWGI) pada tanggal 19 Februari 2008 telah melaksanakan seminar dan Lokakarya di Pontianak, Kalimantan Barat dengan narasumber Ibu Agung Widiastuti dari Bapora, Bapak Anwar dari anggota DPRD Kalimantan Barat, Bapak Prof. Uray ketua PKBI Kalimantan barat dan Ibu Atas Hendartinihabsjah dari perwakilan CWGI.

Pontianak adalah kota terakhir dari rangkaian Semiloka ini, sebelumnya CWGI telah melakukan hal yang serupa di Surabaya, Makassar dan Mataram. Seminar ini ditujukan untuk mensosialisasikan CEDAW dan Concluding Comments Komite CEDAW, serta memantau agenda/upaya pemerintah dalam implementasi Konvensi CEDAW di Indonesia. Sedangkan Lokakarya yang pesertanya khusus Organisasi Non Pemerintah, bertujuan untuk membangun strategi dan memperkuat jejaring pemantauan CEDAW secara lebih sinergis dan permanen.

Pemerintah Kalimantan Barat telah melakukan beberapa upaya untuk mengimplementasikan Konvensi CEDAW di Kalimantan Barat diantaranya adalah dengan lahirnya Peraturan Gubenur No. 86 Tahun 2006 tentang Rencana Aksi Daerah Penghapusan Perdagangan (Traffiking) Perempuan dan Anak, Lahirnya Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang terutama Perempuan dan Anak. Hal ini untuk mengatasi masih tingginya angka perdagangan Perempuan dan anak di Kalimantan Barat mengingat Kalimantan Barat berbatasan langsung dengan negara tetangga.

Masih rendahnya partisipasi Perempuan dan anak dalam pembangunan dan masih adanya berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan merupakan permasalahan yang mendasar dalam pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak yang terjadi di Kalimantan Barat. Selain itu juga masih rendahnya partisipasi Perempuan dalam politik yaitu hanya 3 orang perempuan yang duduk di DPRD Propinsi dari 55 orang dan 19 orang dari 376 orang anggota di DPRD Kabupaten/Kota Se-Kalbar juga menjadi salah satu hambatan dalam implementasi konvensi CEDAW di Kalimantan Barat.

Betapapun kuat komitmen pemerintah provinsi dan legislative dalam mendorong implementasi konvensi CEDAW di Kalimanatan Barat, namun jika tidak ditopang oleh sinergi dari bidang-bidang yang lain, atau tidak diperkuat pihak lainnya, maka dapat dipastikan bahwa upaya yang akan dilaksanakan tidak akan memberikan hasil yang maksimal.

Read More...

Perempuan dan Momentum Politik

Adriana Venny

Pemilu 2009 sudah kian dekat, dan Indonesia butuh lebih banyak perempuan untuk terjun dalam dunia politik! Demikian adalah salah satu tema kampanye dari Peringatan Hari Perempuan Internasional tanggal 8 Maret 2008 ini. Dan di level nasional, momentum perayaan Hari Perempuan Internasional tahun ini ditandai dengan keberhasilan gerakan perempuan dalam mendorong tindakan khusus sementara 30% perempuan di parlemen dalam UU Parpol dan UU Pemilu.

Harapan itu menjadi kian meluap di tengah maraknya berbagai persoalan kekerasan berbasis gender di Indonesia: angka kematian ibu hamil dan melahirkan yang tinggi, kekerasan domestik, kekerasan seksual, trafiking, rendahnya partisipasi perempuan dalam pendidikan, terabaikannya hak-hak reproduksi perempuan, makin maraknya Perda-perda diskriminatif perempuan, tingginya kasus penganiayaan terhadap buruh migran perempuan, diskriminasi upah dan sebagainya. Semua ini selain diakibatkan karena kultur yang masih sangat patriarkis, kebijakan publik yang ada belum responsif terhadap perempuan, juga karena perempuan jarang dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan.

Padahal Indonesia butuh lebih banyak perempuan terjun dan berpartisipasi dalam dunia politik dan pengambilan kebijakan, sehingga kebijakan yang dihasilkanpun lebih ramah terhadap perempuan. Sejalan dengan pemikiran Adrienne Rich seorang tokoh perempuan, sebagai politik feminis: politik yang terus mempertanyakan persoalan perempuan negeri. Tapi faktanya di Indonesia, saat ini di parlemen hanya ada 11,7 % perempuan anggota legislatif. Dan mayoritas laki-laki lalu memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang mengabaikan hak-hak perempuan karena ketidakpahaman akan kebutuhan spesifik perempuan.

Dalam DPD, persoalan minimnya jumlah perempuan sebenarnya sudah hampir usai. Terbukti dari jumlah yang cukup besar (21%) perempuan di DPD saat ini. Jumlah ini juga mengandung makna tingginya kepercayaan masyarakat pada integritas pemimpin perempuan. Bukan laki-laki. Namun jika nanti Parpol bisa mengintervensi kamar DPD seperti yang sudah termaktub dalam UU Pemilu yang baru, maka kekhawatiran para aktivis mungkin akan terbukti dimana jumlah keterwakilan perempuan dapat langsung melorot, lantaran sifat partai yang sangat paternalistik dan sentralistik. Karenanya kelompok perempuan memiliki kepentingan besar untuk turut serta dengan DPD dan koalisi ornop dalam mengusulkan judicial review atas UU Pemilu yang baru disahkan ini.

Berbagai tugas lainnya setelah pengesahan UU Parpol pada tanggal 6 Desember 2007 dan kedua UU Pemilu pada tanggal 3 Maret 2008 yang lalu, kelompok perempuan masih masih harus mengawal pembahasan RUU Susduk dan RUU Pilpres. Perlu dipahami juga oleh masyarakat dan seluruh kelompok kepentingan bahwa dalam UU Parpol pasal yang signifikan bagi perempuan ada di dalam Bab II pasal 2 ayat 2 dan pasal 5 yang intinya adalah parpol menyertakan 30 % perempuan dalam pendirian, pembentukan dan pengurusan parpol. Namun mengingat tidak adanya sanksi, maka kelompok perempuan masih harus memantau satu persatu tiap parpol, hingga Pemilu 2009, sudahkah mereka memasukkan 30% perempuan dalam pendirian maupun kepengurusan. Dan lalu sanksi moral yang bisa dilakukan adalah dengan mengumumkannya di media massa. Banyak ketentuan yang berkaitan dengan 30 % juga masih harus disempurnakan dalam PP yang harus selesai dengan tenggat waktu enam bulan sesudah presiden mengesahkan nomer UU Parpol tersebut.

Sedangkan untuk UU Pemilu, pasal penting bagi nasib keterwakilan perempuan Indonesia ada di dalam Pasal 62 ayat 2 yang mengadopsi sistem zipper dan berbunyi setiap tiga orang dalam daftar calon legislatif, satu harus berjenis kelamin perempuan.

Meski UU Parpol tanpa sanksi dan UU Pemilu masih harus diuji kesaktiannya apakah dengan sistem zipper 3:1 akan benar-benar mampu mendongkrak keterwakilan 30% perempuan, serta satu RUU lagi yakni RUU Susduk yang baru akan dimulai pembahasannya di bulan Maret ini, namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia telah mencapai satu kemajuan yang besar dalam berniat untuk meningkatkan partisipasi perempuan di ruang politik dengan jaminan dua UU ini.

Sebab jika kita merefleksi ke belakang, sesungguhnya mengadvokasi isu ini bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Mulai di awal perjuangan gerakan perempuan yang dianggap mengemis-emis kursi, hingga pertanyaan yang agak sinis pula: “Mengapa hanya 30% mengapa tidak lebih dari itu?” Dari pihak parpol juga kerap beralasan bahwa tidak ada stok perempuan yang layak dijadikan caleg.

Semua pandangan miring juga belum usai hingga disitu. Bahkan manakala UU Parpol telah disahkan, opini publik terpecah. Sebagian gembira, sebagian lagi curiga. Parpol kecil bahkan berpendapat bahkan ketentuan 30 % dalam pendirian dan kepengurusan partai adalah salah satu taktik untuk mengebiri partai baru. Sementara kelompok intelektual mengatakan bahwa perempuan sudah terlalu banyak diakomodir. Salah seorang peneliti dan pengamat politik bahkan menyatakan di media bahwa ratusan dana dihabiskan dalam pembahasan UU Parpol, hasilnya ‘hanya’ kuota. Mindset semacam ini memang masih sulit untuk dibongkar di Indonesia. Perjuangan perempuan agar representasinya meningkat dianggap ‘terlalu mengada-ada’. Tindakan khusus sementara dianggap tidak layak untuk diperjuangkan. Sementara di sisi sosio kultural masih beredar anggapan bahwa perempuan berpolitik tidak layak untuk didukung. Seorang tokoh masyarakat di Padang bahkan mengeluarkan pernyataan bahwa “Perempuan berpolitik sama dengan berzina”.

Sesudah UU Parpol berhasil disahkan. Perjuangan dalam pembahasan RUU Pemilu juga tak kalah alotnya. Ini dikarenakan kelompok perempuan dianggap sudah mendapat banyak di UU Parpol. Parpol juga menganggap bahwa hak untuk menentukan caleg adalah domain eksklusif parpol guna menolak tindakan afirmatif agar perempuan tidak diletakkan dalam nomer sepatu.

Karenanya, kini, meski kedua UU tersebut masih jauh dari sempurna, perempuan boleh sedikit berbangga, karena sudah bisa menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia telah berupaya keras untuk menyingkirkan rintangan-rintangan terberat bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam dunia politik. Dari perempuan sendiri, menghadapi berbagai tentangan kultur dan berbagai problematika internal partai, tokoh perempuan lain Iris Young mengingatkan, bahwa sudah saatnya bagi perempuan untuk menolak bersikap konformis. Kini saatnya berjuang untuk menyuarakan hak-hak kita dan terjun dalam dunia politik.

Ayo, maju terus perempuan Indonesia. Parpol butuh anda!

Read More...

Audiensi Indo ACT’s dengan KPP

Nurhayati Hasbi

Kamis 6 Maret, Perwakilan Indonesia Against Child Trafficking (Indo ACT’s) dipimpin oleh Emmy L. S., Koordinator Presidium, Yoke Sri Astuti, Adriana Venny, Nunung (YJP), Endri (Yayasan Kusuma Bongas) dan wakil dari Yayasan Anak dan Perempuan diterima oleh Deputi Perlindungan Anak, Dr. Suryadi yang didampingi oleh Bapak Farid dan Bapak Afrinaldi. Audiensi berlangsung di ruang pertemuan Deputi Perlindungan Anak di Jl. Abdul Muis Jakarta Pusat.


Menurut Bapak Farid, tingkat kasus trafficking di Indonesia termasuk medium, namun demikian, dari data-data yang bisa dikumpulkan hanya menampakkan fenomena gunung es, karena masih banyak kasus yang belum terungkap. Data yang didapat dari laporan-laporan kepolisian, kejaksaan, NGO dan juga dari media massa, demikian Dr Suryadi saat membuka audiensi. Emmy menginformasikan bahwa Indo ACT’s sudah mengembangkan system database berbasis anak-anak, masih dalam try out pengisian, akan ada workshop pada Maret/April mendatang. Dr. Suryadi berharap agar database tersebut bisa diakses dan ada link dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan.



Dr. Suryadi juga meyayangkan belum adanya Integrated Criminal Justice, dimana belum adanya data kasus trafficking sampai pada tingkat terhukum, karena data yang ada dari pihak kepolisian, hanya pada tingkat kasus/tersangka, sehingga dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan, akan berusaha mengawal terus hingga sampai ada perubahan mindset pada personil kepolisian sampai pengadilan. Masih banyak kasus yang diproses menggunakan KUHP, tidak menggunakan UUPTPPO No. 21. Telah banyak pelatihan-pelatihan bagi personil polisi, yang terakhir adalah pelatihan dengan bantuan dari pemerintah Belanda, namun masih kurang untuk para jaksa dan advokat, karena mereka sangat susah apabila diundang untuk menghadiri pelatihan. Sangat bagus apabila ada pelatihan bersama antara polisi, jaksa dan advokat, jangan sampai nantinya para advokat malah membela trafficker-nya.


Berkenaan dengan promosi 12 Desember agar bisa ditetapkan sebagai hari anti perdagangan orang, Emmy berharap agar tidak ada lagi stigma negatif bagi korban perdagangan orang. Seperti juga pemerintah telah menetapkan hari anti kekerasan terhadap perempuan, dan di beberapa Negara malah telah ada kampanye 88 hari anti kekerasanyaitu mulai 1 Desember sampai dengan 8 Maret, sedang di Piliphina sendiri telah ditetapkan selama 18 hari yaitu mulai 25 Nopember sampai dengan 12 Desember.


Emmy memaparkan, kegiatan Indo ACT’s sendiri, paling jauh adalah terbangunnya Child Protection Network di tingkat desa, jadi bagaimana kita bisa menahan anak-anak di desa ini untuk tidak pergi ke kota misalnya. Framework nya adalah pada tahap awal melakukan training di tingkat nasional, lalu di tingkat propinsi, trainer-trainer di tingkat propinsi ini lalu memberikan community education (comed) di tingkat desa-desa, jadi sudah terbentuk fasilitator lokal. Kemudian di tingkat desa ini akhirnya membentuk jaringan perlindungan anak. Untuk tingkat masyarakat training yang diberikan ada 3 tingkatan, pertama adalah mengetahui bahaya perdagangan anak itu apa, kemudian apa peran yang bisa dilakukan untuk mencegah perdagangan anak, kedua adalah training mengenai case handling, termasuk didalamnya membangun jaringan perlindungan anak, dan yang ketiga adalah untuk partisipasi anak, yaitu bagaimana anak juga bisa melakukan pencegahan perdagangan anak, karena anak biasanya teman curhatnya kepada sesama mereka. Sedang untuk tingkat advokasi, Indo ACT’s juga memiliki modul Human Right Standard (HRS) untuk penanganan perdagangan anak, dari situ juga dengan teman-teman didaerah, bagaimana agar HRS ini bisa memperkaya perda-perda yang dibuat di daerah, misal saat ada korban anak, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh orang-orang menganani korban anak tadi. Fokus Indo ACT’s memang kepada anak, namun Indo ACT’s juga berprinsip tidak mungkin menolong anak jika tidak menolong perempuan.


Untuk mempromosikan 12 Desember ini agar bisa menjadi hari anti trafficking nasional, Dr. Suryadi akan mencoba menggunakan momentum pada peringatan 100 tahun hari kebangkitan perempuan Indonesia yang merupakan rangkaian kebangkitan nasional, yaitu pada 22 Mei mendatang. Kementrian Pemberdayaan Perempuan, seperti pengalaman dalam mengajak keterlibatan ibu Negara dalam Climate and Gender (program menamam tujuh juta pohon), juga dalam setiap perayaan hari Ibu setiap tahunnya, juga pada peringatan hari Anak Nasional, yang bisa menghadirkan Kepala Negara dan Ibu Negara.

Read More...

Kondisi Perempuan Kalimantan Barat

Joko Sulistyo

Masih rendahnya partisipasi perempuan di ruang publik merupakan permasalahan mendasar bagi pembangunan pemberdayaan perempuan. Hal tersebut terlihat juga dari masih sedikitnya perempuan yang menduduki jabatan struktural. Permasalahan tersebut berakibat pula pada masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan juga traffiking.

Walaupun Indonesia telah meratifikai Konvensi CEDAW melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984, akan tetapi implementasinya belum dapat terlihat dengan jelas. Konvensi CEDAW sendiri merupakan sebuah perjanjian internasional yang paling konprehensif dan menetapkan kewajiban hukum yang mengikat untuk mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi ini juga telah menetapkan persamaan kesempatan perempuan dan laki-laki untuk menikmati hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Tetapi teryata sampai saat ini perempuan belum mendapatkan haknya secara penuh. Perlakuan diskriminasi terhadap perempuan masih saja terjadi pada perempuan. Beberapa peraturan daerah yang muncul yang inisiasi awalnya adalah untuk melindungi perempuan malah cenderung mendiskriminasikan perempuan. Hal tersebut tentu membawa permasalahan baru bagi upaya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.

Mengacu pada konvensi CEDAW tersebut propinsi Kalimantan Barat telah mengeluarkan Perda No. 7 tahun 2007 tentang pencegahan pemberantasan perdagangan orang terutama perempuan dan anak. Perda ini muncul berdasarkan inisiasi dari DPR.

Propinsi Kalimantan barat sendiri secara geografis berbatasan dengan Serawak-Malaysia Timur . Wilayah ini juga di jadikan sebagai pusat pemerintahan dan bisnis. Di kawasan perbatasan ini terdapat 62 dusun pada 42 desa yang berbatasan langsung dengan 44 kampung di Serawak. Di kawasan ini juga di tetapkan 5 pusat pertumbuhan ekonomi yang oleh Pemda provinsi Kalimantan Barat disebut sebagai Border Development Center (DOC).

Karena wilayah geografisnya tersebut, masalah kemiskinan, rendahnya pendidikan dan keterampilan khususnya bagi perempuan, spent on controll (rentang kendali pemerintah) yang terlalu luas dan perkawinan transnasional membawa dampak pada tingginya traffiking perempuan dan anak di daerah ini.

Lahirnya Perda No. 7 tahun 2007 tersebut diharapkan dapatr mengurangi tingginya kasus traffiking yang terjadi.

Kalimantan Barat sendiri memiliki luas 146.807 KM persegi yang merpakan 7.53% dari wilayah Indonesia. Dengan luas wilayah yang demikian itu Kalimantan barat hanya berpenduduk kurang lebih 4 juta jiwa (2005). Jumlah penduduk yang demikian itu baru ada 3 orang perempuan yang menjadi anggota DPRD, dari 55 orang anggota. Sedangkan di kabupaten /kota ada 19 orang dari 376 orang.

Hal tersebut tentu memperparah kondisi perempuan di Kalimantan Barat. Disini dapat terlihat dengan jelas adanya kesenjangan partisipasi politik perempuan. Kesenjangan tersebut bersumber dari ketimpangan struktur sosial-kultural masyarakat yang diwarnai penafsiran dari terjemahan ajaran agama yang bias gender.

Dalam konteks sosial kesenjangan itu mencerminkan masih terbatasnya akses sebagian besar perempuan terhadap layanan kesehatan yang lebih baik. Hal tersebut berakibat pula pada tingginya angka kematian ibu melahirkan. Menurut data dari BPS pada tahun 2004 angka kematian ibu di Pontianak mencapai 425 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab dari semua itu adalah adanya keberadaan lingkungan dan kepercayaan masyarakat. Disamping itu infra struktur yang ada. Hal penting lainnya adalah perbedaan kualitas pelayanan kesehatan.

Melihat kondisi tersebut tentu saja Kalimantan Barat masih jauh menuju target dari MDGs. Untuk mencapai tujuan tersebut tentu saja dibutuhkan kerjasama dari semua pihak. Selain itu juga permasalahan pemberdardayaan perempuan harus dipetakan. Secara jelas dan obyektif, sehingga kantong-kantong daerah seperti pedalaman, perbatasan, kepulauan dan pesisir di kabupaten/kota kecamatan dan kelurahan, desa yang memiliki banyak masalah pemberdayaan perempuan dapat terpetakan.

Read More...

Talk Show Hari Perempuan Internasional di Radio VHR

Read More...

Sabtu, 26 April 2008

Membaca MDGs di Blog

Sofia Kartika dan Henny Irawati


Blog membuat orang bersemangat, kata Julien Pain dalam buku saku untuk blogger, Reporters without Borders. Antusiasme ini lahir dari keleluasaan menjadikan blog sebagai media alternatif menuangkan apa-apa yang disebut ekspresi diri. Dalam "buku harian online" ini beragam gaya penulisan dan informasi dapat ditemukan. Kini tersebar blog tentang resep masakan, fotografi, kritik atas kebijakan, sastra, dan sebagainya. Satu hal yang digarisbawahi Pain: para blogger ini menggoyahkan kemapanan media-media mainstream di negara-negara sekelas Amerika Serikat, Cina, ataupun Iran.


Indonesia berkejaran pula dengan laju teknologi ini. Pada 2006, pemerhati blog di Indonesia, Enda Nasution, memperkirakan pada 2007 blogger di Indonesia mencapai angka 45 ribu. Namun, Enda meragukan ramalannya itu. Melesatnya pertumbuhan teknologi bisa saja membuat angka yang ia sebut melenceng jauh dari jumlah yang sebenarnya. Awal 2008, keraguan Enda terbukti. Saat ini diperkirakan telah lahir 150 ribu blog di Indonesia. Dalam Pesta Blogger 2007, selain ditetapkan 27 Oktober sebagai Hari Blogger Nasional, Menteri Komunikasi dan Informatika Muhammad Nuh mendorong komunitas blog mencapai angka 1 juta pada 2008. Apa yang ada di benak Bapak Menteri? Mengapa sedemikian penting gagasan tentang blog ini?



"Blog harus bisa memberikan manfaat edukasi, memberdayakan," ujarnya di hadapan 450 peserta yang datang dari seluruh penjuru negeri.


Apa yang dimaksud dengan "manfaat edukasi (yang) memberdayakan" ini tidak diperinci oleh Bapak Menteri. Suatu kali, ketika sedang mencari data tentang target pembangunan milenium atau Millennium Development Goals (MDGs), saya menemukan sebuah posting menarik, "Kemarin ketika mid semester mata kuliah amdal, keluar soal tentang MDGs. Karena diriku baru pertama kali mendengar frase itu, aku pun nyari ke Internet dan ternyata daku emang kuper kali yah karena sudah banyak yang membahas soal MDGs. Berikut petikannya dilaporkan langsung oleh reporter kita Tarkhiena dari MP TV." Lalu Tarkhiena menulis perihal pengetahuan barunya yang ia dapat dari wikipedia itu di blognya.


Tidak hanya bertambah data yang saya dapat, membesar pula pengetahuan saya tentang sejumput respons dari masyarakat yang, barangkali, luput dari perhatian pemerintah.


Blog memberi ruang bagi pemiliknya yang tidak cuma datang dari profesi itu untuk menuangkan cerita apa saja di sekitar mereka. Keberagaman profesi--mulai mahasiswa, ibu rumah tangga, pekerja kantor, seniman, selebritas, sampai tokoh politik, jurnalis, dan aktivis--menyulut pula berbagai tema yang ditulis. Dari tema-tema tersebut, salah satu di antaranya MDGs.


Indonesia, sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, turut mendukung komitmen percepatan pembangunan dan pemberantasan kemiskinan yang ditandatangani di New York itu. Selanjutnya, deklarasi tersebut diterjemahkan dalam delapan isu kritis, yakni pengurangan kemiskinan dan kelaparan; pendidikan untuk semua; kesetaraan gender; pengurangan angka kematian ibu dan anak; peningkatan kesehatan dan gizi ibu dan anak; pengurangan persebaran HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya; lingkungan yang berkelanjutan; serta pengembangan kemitraan untuk pembangunan global. Waktu yang diberikan untuk mencapai target delapan bidang tersebut tidaklah lama: 15 tahun terhitung sejak penandatanganannya pada 2000.


Kita masih punya waktu tujuh tahun lagi. Sungguh bukan waktu yang panjang, apalagi mengingat Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) setelah puluhan tahun pun belum tersosialisasi dengan optimal.


Kampanye MDGs sudah sering kali dilakukan. Namun, kedelapan tujuan MDGs seperti masih di awang-awang. Ia harus diterjemahkan, baik untuk kepentingan pencapaiannya maupun dalam kebutuhan sosialisasinya. Dan tugas ini, menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Paskah Suzetta dalam laporan pencapaian MDGs 2007/2008, bukanlah semata-mata tugas pemerintah, melainkan merupakan tugas seluruh komponen bangsa. Namun, apa yang bisa dilakukan sebagian komponen bangsa tersebut? Saya mengusulkan untuk meniru program Blogger for Bangsari.


Blogger for Bangsari (http://bangsari.blogspot.com) hadir sebagai lanjutan program keberlanjutan pendidikan anak-anak di Desa Bangsari. Mereka menarik kepedulian blogger dan bukan blogger untuk menjadi donatur melalui banner plus gaya kampanye komikal, yang tidak terlalu serius, tapi tetap berisi. Donasi tidak dibatasi dalam bentuk uang, bisa juga kambing dengan sistem paroan, buku, sepatu, seragam, ide, dan perhatian. Kepedulian juga bisa berbentuk kontrol atau menjadi mata rantai kepedulian dengan menulis ajakan bergabung dengan program ini di blog masing-masing. Selain bisa ditulis oleh siapa saja dengan format yang tidak mengikat dan biaya yang relatif murah (apalagi jika dibandingkan dengan membuat iklan layanan masyarakat di televisi atau koran), blog yang tengah diakrabi ini bisa menjadi media alternatif.


Namun, sebagaimana juga diperingatkan Pain, blog juga rentan terhadap kekhawatiran, ketidakpercayaan, penyalahgunaan, dan kesalahan persepsi, terlebih untuk isu-isu yang baru dipahami oleh sebagian orang. Sebut saja, poin ketiga MDGs, kesetaraan gender dan peningkatan kualitas hidup perempuan. Dalam salah satu entrinya, blog MDGs menyebutkan, "Peningkatan kesehatan ibu memiliki tujuan untuk memperkuat pangsa pasar kaum wanita. Mengingat kaum ibu ialah kaum yang lebih konsumtif dan lebih banyak kebutuhannya dibandingkan pria." Alih-alih mempromosikan pemberdayaan perempuan, tulisan tersebut justru mengekalkan stereotipe tentang perempuan. Tapi, tunggu dulu, blog juga dilengkapi mekanisme kontrol melalui komentar pembaca dan tautan link-nya. Anda bisa membenturkan pendapat Anda dengan tulisan yang ada, dengan harapan si penulis memberi jawaban sehingga terjadi diskusi. Atau Anda bisa menuliskan pendapat tersebut di blog Anda sendiri.


Blogger di Indonesia, berapa pun jumlahnya, dapat turut serta menjadi penggerak dalam upaya pencapaian target-target MDGs. Entah itu sebagai media kampanye dan kontrol bagi pemerintah, entah masyarakat itu sendiri. Mengapa tidak dimulai dari Anda?


Koran Tempo, 08 Maret 2008


Read More...

Peluncuran Lembaga Partisipasi Perempuan

Read More...