Selasa, 03 Juni 2008

Mengajak Perempuan untuk Berpolitik

Joko Sulistyo

Upaya peningkatan 30% keterwakilan perempuan di parlemen merupakan sebuah tindakan sementara (alternative action) yang saat ini bisa kita lakukan. Namun langkah awal tersebut tentu saja harus dikelola dengan sebaik-baiknya.

Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Parpol dan Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu telah mewajibkan partai politik memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan dari tingkat propinsi sampai tingkat kabupaten/kota. Undang-undang tersebut tentu saja tidak lepas dari hasil kerja keras dari gerakan perempuan yang terus mengawal dalam pembahasam undang-undang tersebut.

Kebijakan yang sudah adapun tidak akan berhasil kalau saja tidak disertai dengan upaya-upaya yang kongkrit untuk mendukung realisasinya. Mendorong perempuan untuk berpolitik adalah salah satu hal yang dapat dilakukan. Selain itu memberi pemahaman bahwa dunia politik bukan hanya dunia laki-laki dan perempuan harus ikut andil didalamnya adalah satu hal yang tak kalah penting.

Parpol sendiri seringkali menjadikan rendahkan partisipasi perempuan di ruang publik, terutama di daerah sebagai alasan menggapa mereka tidak bisa memenuhi kuota 30% wakil perempuan di tingkat Popinsi dan kabupaten/kota.

Demi mendorong partisipasi perempuan di ranah politik tersebut Program Studi Kajian Wanita bekerjasama dengan Tifa Foundation menerbitkan buku dengan judul Perempuan Ayo Berpolitik, Jadilah Pemimpin (cerita bergambar)" karya Shelly Adelina dan "Advokasi Kebijakan Pro-Perempuan" karya Ratna Batara Munti.

Buku tersebut diluncurkan dalam peringatan 10 tahun reformasi dan 100 tahun kebangkitan nasional. Diskusi peluncuran buku tersebut menghadirkan narasumber Ganjar Pranowo dari Fraksi PDI-P DPR dan Ibu Latifah Iskandar Anggota Fraksi PAN DPR. Acara yang dilangsungkan di Hotel Ibis Tamarin Jakarta pada hari Rabu, 23 Mei 2008 ini juga menghadirkan Ani Soecipto sebagai pengamat politik dan juga di moderatori oleh Nur Iman Subono.

Perempuan politikus adalah kelompok yang sulit menyeberangi jurang kesetaraan. Hal tersebut sampaikan Shelly dalam bukunya. Selama ini dunia politik diidentikan dengan dunia yang kotor dan milik laki-laki yang membuat perempuan tidak nyaman berada didalamnya.

Sementara itu Buku Ratna Batara Munti yang berjudul “Advokasi Kebijakan Pro-Perempuan” dikatakan Ratna merupakan pendokumentasian gerakan dari gerakan perempuan dalam mengadvokasi undang-undang diparlemen. Ratna mengatakan bahwa advokasi kebijakan merupakan sebuah strategi untuk memastikan adanya jaminan hukum yang efektif untuk perlindungan serta pemenuhan hal.

Menurut Ratna, Mendorong adanya sebuah kebijakan yang positif dan 'bunyi' di masyarakat merupakan satu cara masuk untuk kepentingan jangka panjang. Yakni, mengubah struktur sosial dan budaya yang ada selama ini, yang melanggengkan ketidakadilan struktural terhadap perempuan.

Keberhasilan beberapa undang-undang seperti UU PKDRT, UU PTPPO, amandemen UU Kewarganegaraan tak luput dari usaha keras kelompok perempuan dalam mengadvokasi kebijakan tersebut. Ratna memberikan contoh misalnya dalam mengadvokasi RUU Penghapusan PKDRT, kelompok perempun mengedepankan politik kebertubuhan mereka, tubuh perempuan bukan objek kekerasan.

Latifah Iskandar sendiri mengakui behwa partisipasi perempuan jadi pemilih cukup tinggi, tapi kurang dalam partisipasi politik. Minimnya partisipasi politik perempuan, sedikit banyak, akan berimplikasi pada kebijakan politik yang pada akhirnya kurang mengakomodasi kepentingan perempuan.

Membuka ruang untuk publik ketika pembahasan sebuah undang-undang adalah strategi yang dilakukan Ganjar Pranowo untuk mendapatkan masukan-masukan dari masyarakat luas. Sehingga undang-undang yang dihasilkanpun akhirnya dapat mengakomodir kepentingan bersama.*

Tidak ada komentar: