Selasa, 03 Juni 2008

Peranan Perempuan Membangun Perdamaian

Latifah dan Ary Budiyanto

Partisipasi perempuan dalam mengupayakan perdamaian terwujud dalam banyak cara. Demikian inti film dokumenter “Woman in Front Line” produksi Peace by Peace yang didiskusikan di Rumpun Tjoet Njak Dien, Yogyakarta, pada 9 Mei 2008. Melalui Ta’lem Education di Afganistan, pendidikan terhadap perempuan berperan meredam terorisme dan membuka mata dunia bahwa Afganistan sekarang terbuka dan masih membutuhkan bantuan. Program pendidikan ini juga membuka akses perempuan untuk bersuara dan bekerja serta mendapatkan fasilitas kesehatan dan air bersih.

Di belahan dunia lainnya, Women Peace Center berperan sebagai media alternatif untuk mengurai ketegangan akibat konflik antaretnik Hustsu dan Tutsi karena media utama dianggap hanya ingin menulis apa yang enak didengar, bukan yang sebenarnya. Siaran radio mereka membicarakan secara terbuka peristiwa-peristiwa yang dapat memicu konflik antaretnis itu sehingga dapat meredam rumor-rumor yang beredar di jalanan yang berpotensi meneror masyarakat dengan menciptakan ketakutan.

Dalam program lainnya, Women for Women, perempuan saling berbagi cerita mengenai peristiwa traumatis yang dialaminya akibat konflik Sarajevo-Bosnia. Selain berperan melepaskan kepedihan, dalam kelompok diskusi ini, perempuan juga belajar untuk memaafkan sehingga terbangun proses rekonsialisasi. Melalui proses ini, terbukti bagaimana para istri selanjutnya berperan mendorong suami mereka untuk juga memilih jalan damai daripada memelihara pertikaian.

Upaya rekonsialisasi juga dilakukan oleh para perempuan korban peristiwa 11 September di Amerika Serikat. Mereka menyatakan solidaritas mereka terhadap para penyintas dengan mengunjungi para penyintas perang di Afganistan dan Irak. Mereka juga secara aktif mengkritik kebijakan pemerintah seputar perang dan penanganan korban, terutama korban sipil.

Di Indonesia sendiri peran aktif perempuan dalam membangun rekonsialisasi mendapat apresiasi dengan diberikannya penghargaan khusus kepada Midori Hirota dalam pembukaan pameran seni visual 100 Tahun Kebangkitan Nasional di Jogja Galeri pada 20 Mei 2008. Dalam pameran yang berlangsung hingga 12 Juni 2008 itu, masyarakat dapat menyaksikan rekaman visual upaya seniman asal Jepang yang cukup lama tinggal di Indonesia ini dalam membangun rekonsialisasi internasional dengan para mantan tentara PETA. Upayanya itu didorong oleh trauma akibat perang yang dialami kakeknya yang terpaksa menjadi tentara Jepang di Indonesia. Saat menemui para mantan tentara PETA itu, ia memberikan patung kecil karyanya dengan harapan dapat menukarnya dengan kisah penderitaan mereka dalam perang yang selama ini hanya terpendam. Midori juga mengadakan pameran bertajuk “Memori of Asia” di Aichi Prefectual Museum of Art, Nagoya, Jepang.

Upaya menguak sejarah terkait dengan hubungan Indonesia dan Jepang juga dilakukan oleh Sri Pangastoeti dari Fakultas Ilmu Budaya, UGM, Yogyakarta. Dalam historiografi Jepang, fakta sejarah adanya karayuki-san kurang diungkap. Penulisan sejarah Jepang masih dinilai timpang karena hanya menonjolkan kesuksesan perempuan yang pergi ke luar negeri (karayuki-san) pada masa Meiji, sementara kisah kelam karayuki-san yang dieksploitasi terbenam. Dalam diskusi tentang Perempuan di Cina dan Jepang di Pusat Studi Wanita UGM, Yogyakarta, pada 23 Mei 2008, Sri memaparkan hasil risetnya mengenai karayuki-san yang terjadi sekitar seabad yang lalu. Berdasarkan pada catatan Muraoka Iheiji, seorang perantara penjualan perempuan Jepang ke Asia Tenggara, Sri mengemukakan bagaimana jaringan perdagangan perempuan jepang berkembang di Asia Tenggara. Karayuki-san di Indonesia pada masa kolonial mencakup praktik di rumah bordil, pekerja seksual terselubung di restoran dan kedai kopi, salon, penginapan, dan pekerja rumah tangga sekaligus sebagai istri simpanan majikan (Belanda). Mereka masuk melalui Medan dan selanjutnya dibawa ke Jawa hingga Makasar.

Sri melihat berbagai faktor yang menyebabkan karayuki-san: kemiskinan (faktor alam dan kebijakan pemerintah Meiji yang tidak adil, terutama bagi perempuan); budaya patriarki yang menganggap perempuan sebagai aset yang berharga yang dapat dimanfaatkan pada saat keluarga dalam kesulitan ekonomi sehingga perempuan mengalami eksploitasi ekonomi, fisik, dan seksual; model dari karayuki-san yang sukses; dan kondisi di luar Jepang, seperti Singapura yang saat itu sedang giat membangun wilayahnya yang melibatkan berbagai ekses seperti pemenuhan hasrat seksual para pekerja migran. Para perempuan Jepang itu bukan saja mengalami eksploitasi di negara tujuan, mereka juga mengalami penyiksaan dan perkosaan selama dalam perjalanan.

Terkait dengan kondisi perempuan Jepang masa kini, meskipun banyak kemajuan yang diraih perempuan Jepang, Sri memandang domestikasi perempuan masih kuat sekarang. Karena itu, aktivis perempuan disana mendorong keterlibatan laki-laki dalam mengurus rumah tangga, misalnya dengan kampanye melalui poster-poster yang menggambarkan kepedulian laki-laki dalam mengurus anak. *

Tidak ada komentar: