Kamis, 22 Mei 2008

Migran Indonesia dalam Jeratan Hutang

Hongkong adalah salah satu negara tujuan pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI). Pemerintah Indonesia sendiri menargetkan 700.000 pengiriman TKI ke negara ini dan saat ini, sekitar 120.00 TKI bekerja di sana. Mayoritas adalah perempuan, sedang kaum laki-laki hanya berjumlah sekitar 1%. Perempuan-perempuan tersebut kebanyakan berprofesi sebagai pembantu rumah tangga. Hal ini diungkapkan Eni Lestari, Ketua ATKI-HK (Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia-Hong Kong), dalam diskusi publik bertajuk “Gerakan Pemberdayaan Perempuan dalam Konteks Muslim” yang berlangsung di Jakarta, Senin (28/4).

Seperti TKI di negara lain, TKI di Hongkongpun kerap bermasalah. Permasalahan ini sudah dimulai sejak proses perekrutan. Adanya kebijakan yang mengharuskan pengiriman TKI melalui PJTKI swasta merupakan salah satu bibit permasalahan. Ketika melakukan perekrutan banyak PJTKI tidak memberikan informasi awal. Hal itu juga mengakibatkan hampir 100% buruh migran Indonesia terjebak dalam jeratan hutang (debt bodage) karena mulai perekrutan sampai mereka ditempatkan di negara tujuan harus diongkosi sendiri oleh calon TKI. Adanya penyitaan paspor oleh perekrut juga menjadi persoalan tersendiri bagi mereka. Hal ini tentu saja menjadikan ruang gerak bagi mereka sangat terbatas dan tidak dapat berbuat apa-apa ketika terjadi kekerasan yang menimpanya.

Menurut survey yang dilakukan oleh PILAR, sekitar 40% migran Indonesia di Hongkong disita paspornya oleh agensi. Hal ini dilakukan untuk menyandera buruh migran agar mereka membayar biaya penempatan senilai HK$21.000 dan tidak lari dari majikan meskipun mereka mendapat perlakukan kasar, juga agar buruh migran tersebut mematuhi agensi.
Konsulat sendiri telah mengeluarkan surat keputusan yang ditujukan kepada asosiasi agensi Hongkong agar mereka melepas paspor buruh migran yang mereka sita dan menghukum mereka yang tidak melakukannya. Dengan syarat inipun belum sepenuhnya kuat karena masih banyak orang Indonesia yang belum mendapatkan paspor mereka kembali hingga sekarang.

Baru-baru ini Konsulat mengakui bahwa ada sekitar 150 orang Indonesia memperbarui paspor mereka setiap hari. Waktu pendaftaran yang hanya pagi hari mengakibatkan waktu dua minggu untuk mendapatkan paspor mereka kembali. Konsulat yang hanmpir tidak memberikan pelayanan pada hari minggu disaat para buruh migrant memperoleh libur merupakan permasalahan tersendiri bagi mereka. Hal ini tentu saja karena kebanyakan dari mereka adalah pekerja domestic sehingga mereka harus membujuk majikan mereka terlebih dahulu agar bisa meninggalkan rumah pada pagi hari.

Menanggapi permasalahan ini, pemerintah pusat di Jakarta telah menunjuk konsulat di Hongkong untuk memenuhi kebutuhan rayat Indonesia di Macau.(JS)

Read More...

Rabu, 21 Mei 2008

Luka Mei, Setelah 10 Tahun

Sepulang menghadiri acara Peluncuran Laporan Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan Seksual Mei 1998 dan Dampaknya “Saatnya Meneguhkan Rasa Aman: Langkah Maju Pemenuhan Korban Kekerasan Seksual” di halaman kantor Komnas Perempuan, Kamis (15/5), seorang kawan saya bertanya, “Bagaimana perkembangannya [kasus kekerasan Mei ‘98]?” Kawan saya itu seorang perempuan keturunan Tionghoa. Saya lupa bertanya di mana ia ketika kerusuhan 10 tahun lalu itu terjadi. Namun, andaipun ia selamat pada bencana yang terjadi saat itu, dari smsnya saya menangkap adanya kengerian yang sangat. “Dari tadi pagi mau nangis inget kerusuhan Mei. Rasanya sakit banget.”

Dalam temuan yang dipaparkan Pelapor Khusus Prof. DR. Saparinah Sadli terekam bahwa korban kekerasan seksual Mei 1998, yaitu perempuan-perempuan dari etnis Tionghoa, sebagian besar memilih bungkam. Selebihnya, mencoba memutus hubungan dengan masa lalu dengan cara meninggalkan Indonesia atau berganti identitas. Mereka bersikap demikian karena “masih terbatasnya landasan legal dan adanya budaya impunitas yang telah menciptakan kondisi yang belum bisa meneguhkan rasa aman perempuan korban kekerasan seksual Mei 1998.”


Bukan sekali ini tubuh perempuan menjadi ajang unjuk kekuasaan pihak-pihak yang merasa perlu melanggengkan kekuasaan tersebut. Dalam situasi konflik tubuh perempuan dikenali sebagai identitas komunitas. Penguasaan terhadap tubuh perempuan dari pihak musuh adalah strategi yang kerap dilakukan untuk menguasai dan menjatuhkan lawan. Komnas Perempuan, sebelumnya, telah mencatat kasus serupa pada masa konflik di Aceh, Papua, dan Timor Timur.

Dalam konteks tragedi Mei, kekerasan seksual yang terjadi, antara lain berupa gang rape (perkosaan yang dilakukan oleh sekelompok orang secara bergantian pada satu waktu kejadian), adalah skenario yang telah dipersiapkan “sebagai bagian dari kerusuhan itu sendiri.” Pengerusakan tubuh perempuan ini diartikan sebagai “puncak pelampiasan kemarahan sekaligus pernyataan penaklukan atau kekuasaan atas komunitas Tionghoa.” Meskipun bukan merupakan konflik etnis, komunitas Tionghoa adalah sasaran yang dibidik dalam kerusuhan tersebut. Sejak mula, rezim menurut Charles Coppel, Orde Baru telah mengkambinghitamkan komunitas Tionghoa dengan melabeli mereka sebagai penjahat komunis, tukang sabotase perekonomian (hlm. 20).

Ada!
Hampir mustahil membentengi perempuan dengan rasa aman kalau kasus kekerasan seksual itu sendiri diragukan keberadaannya. Dalam laporannya, mantan komisioner Komnas Perempuan itu menulis, “Sebagian pejabat Negara masih menganggap tindak kekerasan seksual Mei 1998 sebagai DUGAAN selama belum adanya pembuktian hukum.” Sementara itu, “pembuktian secara hukum” itu sendiri dirasa sangat menyulitkan “akibat minimnya bukti dan tidak ada korban yang mau bersaksi.” Di luar itu, kita patut bersedih karena “selama ini berbagai upaya penegakan kasus pelanggaran HAM belum pernah mengangkat adanya kasus kekerasan seksual terhadap perempuann, meskipun tidak lagi menjadi rahasia bahwa dalam setiap kekerasan bersenjata selalu juga terjadi kekerasan seksual.”

Untuk membesarkan hati kita, perempuan yang kerap disapa Ibu Sap ini mencatatkan komitmen pemerintah, berupa pengesahan UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (atas rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan 13-15 Mei 1998) dan peratifikasian sejumlah konvensi dalam undang-undang, antara lain Konvensi Anti Penyiksaan, Konvensi Anti Diskriminasi Rasial, Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, dan Kovenan Hak Sosial, Ekonomi, dan Budaya. Pertanyaan selanjutnya, apakah cukup dengan itu?

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta menjawab, “Kita tidak boleh hanya mengutuk, tetapi juga mencegah supaya [kejadian Mei] tidak terulang lagi.” Dengan cara, lanjutnya, mengubah pola pikir dan menanamkan pemahaman tentang anti kekerasan dimulai dari unit terkecil masyarakat. Meutia tidak menampik bahwasanya penguatan landasan hukum juga perlu dilakukan. Karena itu, sambung Ibu Sap, UU tersebut perlu ditindaklanjuti pada peraturan pelaksanaannya dan kerangka kebijakan yang memberi manfaat langsung bagi perempuan korban kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 98, dan dalam berbagai konteks konflik bersenjata lainnya.

Upaya tersebut dalam terlihat dengan segera direvisinya aturan hukum tentang perkosaan agar memenuhi standar internasional, segera pula membentuk lembaga perlindungan saksi dan korban, dan mengintegrasikan Jakarta Protocol yang disusun oleh Ikatan Dokter Indonesia sebagai alat penyelidikan pelanggaran HAM berbasis gender. Sebagai Pelapor Khusus Tragedi Mei, Ibu Sap mengajak masyarakat untuk membantu pemulihan perempuan korban dengan “memastikan sejarah perkembangan didasarkan pada kebenaran” dan, sebagaimana juga dituturkan Ketua Komisioner Komnas Perempuan Kemala Chandrakirana, terus berupaya melawan lupa akan Tragedi Mei 1998, juga tragedi-tragedi lainnya yang memberi ruang terjadinya kekerasan seksual pada perempuan.(RA)

Read More...

Jumat, 16 Mei 2008

Mendongkrak Partisipasi dan Perlindungan Perempuan melalui KIE

Indonesia bukanlah negara konflik. Namun, kita tidak dapat menutup mata akan adanya beberapa wilayah yang menjadi lahan pertempuran—baik dengan motif pertentangan etnis, agama, ataupun perebutan sumber daya alam. Apapun pemicunya dan seberapapun besarannya, konflik selalu menyasar perempuan dan anak-anak sebagai korban. Di Aceh, menurut berbagai sumber, sebagaimana dikutip Adriana Venny, pada masa pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) kasus perkosaan yang teridentifikasi sebanyak 40 kasus. Belum lagi kasus pelecehan seksual, kekerasaan seksual pada saat interogasi, ditangkap dan ditahan karena aktivitas politik suami atau keluarga. Korban rayuan militer juga terjadi hampir di seluruh daerah konflik yang melibatkan aparat keamanan.

Komnas Perempuan mencatat, di Aceh, kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi selama masa konflik sampai penandatangan perjanjian perdamaian sebanyak 103 kasus. Kekerasan juga terjadi di dua daerah lain yang pernah diterapkan DOM, Papua dan Timor Timur (saat itu Timor Timur masih menjadi wilayah Indonesia). Pelapor khusus PBB menerima laporan dari Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi bahwa sebanyak 853 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi antara tahun 1974 sampai dengan 1999. Sebagian besar kekerasan berupa perkosaan, kekerasan lainnya berupa perbudakan seksual. Dan sebagaimana diungkapkan Venny, pelaku utamanya adalah militer dan polisi.

Data-data yang disebutkan Venny, yang dicatat Komnas Perempuan, dan yang diterima Pelapor Khusus PBB bukanlah sekedar angka. Satu saja kasus yang terjadi itu sudah jumlah yang terlalu banyak. Oleh karena itu, dalam Workshop Penyusunan KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) Perlindungan Perempuan di Daerah Rawan Konflik yang digagas Kementerian Pemberdayaan Perempuan selama 2 hari (6-7 Mei), di Bogor, sejumlah kalangan terkait, di antaranya pemerintah dan LSM, diundang untuk merumuskan bahan KIE untuk meningkatkan perlindungan dan partisipasi perempuan di wilayah konflik.


Payung Hukum
Dalam tataran internasional, penanganan konflik mengacu pada resolusi 1325. Resolusi ini, meskipun dilahirkan oleh Dewan Keamanan PBB yang notabene beranggotakan 5 negara besar dengan hak vetonya, sesungguhnya lahir atas desakan sejumlah NGO yang bekerja di ranah akar rumput. Dalam pelaksanaannya sendiri, Indonesia yang turut menandatangani resolusi tersebut 8 tahun lalu telah mengimplementasikannya dalam pelbagai kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut tidak secara langsung berpayung pada resolusi yang disepakati di New York, 31 Oktober tersebut. Indonesia sendiri telah lebih dulu mengintegrasikan keterlibatan perempuan dalam pelbagai bidang melalui program pengarusutamaan gender yang mengacu pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).

Tahun lalu, Indonesia telah mengesahkan UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Di dalamnya, termasuk juga mengatur soal bencana sosial/konflik. Sayangnya, sejumlah pihak menengarai pasal tersebut belum responsif gender. Dengan demikian, menjadi penting pula untuk mengawal pembahasan RUU Penanggulangan Konflik yang sedang dibahas. Bersamaan dengan itu, partisipasi dan perlindungan yang menjadi kata kunci dalam pertemuan 2 hari tersebut sedang didorong agar diteguhkan dalam berbagai fase konflik. Mulai dari meningkatkan pengetahuan tentang konflik dan cara penanganan yang responsif gender sampai proses perdamaian yang sudah seharusnya menyertakan perempuan.

Peran serta perempuan yang digagas tesebut tidak akan bisa diwujudkan dengan daya perempuan sendiri. Sebagiamana lazim diketahui, ketertinggalan perempuan dalam pelbagai aspek kehidupan seringkali disandung masalah adat dan agama. Oleh karena itu, dalam KIE tersebut, tokoh masyarakat dan adat, juga pemerintah, didesak pula untuk memberi ruang bagi perempuan untuk aktif pada masa konflik dan dalam proses perdamaian.(RA)

Read More...

Kamis, 01 Mei 2008

Bukan Sekadar Gerakan Maya

Sofia Kartika

Menjelang 21 April yang lalu, seorang kawan saya yang mengajar di sebuah sekolah dasar diprotes wali murid. "Kenapa sekarang Hari Kartini tidak diperingati dengan parade berkebaya?" katanya. "Kamu kan aktivis perempuan. Menurutmu, kenapa ya?" katanya menyambung.

Sebenarnya tidak perlu berlabel aktivis perempuan untuk menjawab pertanyaan itu. Pergerakan waktu meminta orang merespons zaman sesuai dengan kebutuhannya. Di masa blog menjadi bagian dari keseharian ini, perempuan menegaskan keberadaan dirinya dengan menciptakan ruang-ruang di blog, salah satunya sebagai refleksi gerakan perempuan.


Jejaring
Sekitar 2003, Labibah Zain, seorang ibu rumah tangga, berinisiatif membangun sebuah jejaring di dunia maya untuk berkomunikasi kembali dengan teman-teman lamanya melalui sebuah jaringan komunitas bernama Blog Family--atau biasa disebut Blogfam. Mengingat domisilinya di Kanada, cara inilah yang menurut dia paling tepat dilakukan. Jejaring ini salah satunya memfasilitasi kelompok perempuan berbagi cerita tentang kehidupan sehari-hari. Topik-topik yang sebelumnya didomestifikasi, seperti pengasuhan anak dan memasak, mengemuka pada media alternatif tersebut. Berbaur dengan isu pendidikan, kesehatan ibu dan anak, dan informasi mengenai pernikahan lintas negara--seperti yang dilakukan Hartatinurwijaya di 1000womenpeaceindonesia.blogspot.com--mengisi ruang-ruang di blog.

Selain Blogfam, banyak lagi komunitas maya dilahirkan. Kelompok-kelompok tersebut hadir untuk menjembatani perempuan di berbagai kalangan dan latar belakang. Di samping berbagi informasi dan pengetahuan, komunitas maya ini hadir untuk menjawab kebutuhan kelompok perempuan membentuk jaringan. Disusunlah kelompok sesuai dengan kekhasan masing-masing. Ada kelompok yang berani memasak dan membuat kue, ibu yang berbagi pengalaman mengenai air susu ibu eksklusif, kelompok rajut, dan kelompok belajar bahasa.

Tak ketinggalan para aktivis perempuan. Sekumpulan aktivis perempuan yang melakukan dampingan pada korban 1965 membentuk sebuah blog untuk merekam hasil advokasi mereka. Hal yang sama dilakukan aktivis lain yang mengadvokasi isu pemberdayaan ekonomi. Mereka melahirkan blog masing-masing lantas berjejaring dengan blog aktivis perempuan yang lain. Coba tengok Center for Community Development and Education Aceh. Melalui blognya, mereka mengabarkan kegiatan menguatkan kelompok perempuan di Aceh. Pelbagai kegiatan yang didokumentasikan oleh mereka dalam bentuk foto dan tulisan tentang pengalaman dampingan dibagi dan dikomunikasikan dengan aktivis lain, baik yang mempunyai fokus yang sama maupun yang berbeda.

Kelompok-kelompok yang mengambil fokus pemberdayaan ekonomi menapak lebih jauh lagi. Mereka yang memiliki usaha kecil dan menengah ini memanfaatkan blog sebagai media interaksi yang murah, misalnya usaha toko kue online, buku, sepatu, aksesori manik, dan produk lainnya. Sayangnya, proses ketersediaan ruang interaksi produsen-konsumen yang disediakan oleh blog sebagai wahana pendukung langkah-langkah pemberdayaan--yang beberapa waktu lalu digembar-gemborkan Menteri Komunikasi dan Informatika--pun terkena imbas gebyar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan rilis film Fitna. Pemberangusan beberapa situs, seperti YouTube, Multiply, dan Blogspot, tak pelak lagi mempengaruhi usaha kelompok perempuan. Sejumlah keluhan sempat ditampilkan dalam koran ini pada 11 April lalu. Beberapa pengguna jasa blog perempuan cukup tersiksa ketika layanan blog terhambat karena berakibat pada terhambatnya interaksi ekonomi.

Lembaga setingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa tak ketinggalan dalam pemanfaatan media blog ini. Terkait dengan isu pemberdayaan ekonomi, mereka mempergunakan Internet sebagai salah satu media alternatif sebagai upaya penguatan usaha kecil dan mikro. Untuk itu, rasanya tidak perlu menunggu membuat website sempurna karena blog bisa menjadi alternatif dalam menguatkan usaha kecil dan mikro dan sektor ini paling banyak dilakoni oleh kelompok perempuan. Dengan blog, salah satu persoalan dalam pengembangan ekonomi produktif oleh kelompok perempuan, yaitu jaringan, pemasaran, dan informasi, paling tidak bisa diatasi.

Terapi
Resep ini pernah diucapkan oleh seorang aktivis perempuan terpandang dari Mesir, Nawal el-Sadawi. Penulis novel Perempuan di Titik Nol ini percaya bahwa menulis adalah obat paling manjur bagi perempuan untuk menghilangkan kerut wajah, bahkan lebih baik daripada krim pemutih. Selain sebagai ruang berbagi aktivitas kelompok perempuan, blog dapat dijadikan sebagai ruang untuk menuangkan pikiran, menuliskan pandangan perempuan dalam melihat persoalan di sekelilingnya.

Seorang korban kekerasan dalam rumah tangga menggunakan blog sebagai media terapi. Ia menuliskan bagaimana kekerasan tersebut dilakukan suaminya dan bagaimana ia berulang-ulang terjebak pada lingkar kekerasan. Mekanisme comment (komentar) memberikan alternatif pilihan solusi masalahnya, seperti mengajukan proses hukum, bercerai, ditambah informasi dari pembaca blognya bahwa telah ada undang-undang yang mengatur tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Berkat "terapi" tersebut, dorongan untuk keluar dari lingkar kekerasan semakin kuat. Akhirnya dia berani mengambil keputusan cerai. Terapi menulis ini sekaligus bisa menghindarkan korban kekerasan menjadi pelaku kekerasan.

Di koran ini, pada 18 April lalu, juga pernah dikisahkan tentang seorang ibu yang ingin belajar menulis dan ngeblog. Menulis, menurut dia, adalah salah satu ekspresi diri dan cerminan berbagi pengalaman, sementara blog adalah media yang mudah dan murah. Dulu Kartini menulis sura kepada Nyonya Abendanon untuk menceritakan pengalaman dan pandangannya terhadap peristiwa yang terjadi di lingkungan di sekitarnya. Kini blog memfasilitasi perempuan untuk berbagi dan menjadikannya sebagai sebuah gerakan pemberdayaan yang nyata.


Koran Tempo, 26 April 2008

Read More...

Pemberdayaan Kedermawanan Perempuan

Latifah


Meningkatnya eksistensi perempuan secara signifikan terungkap dalam hasil survei PIRAC. Dari survei yang dilakukan pada 2007 lalu, terlihat bahwa perempuan memegang peran yang besar dalam pengambilan keputusan di keluarga berkaitan dengan kegiatan filantropi. Survei yang dilakukan sebelumnya, yaitu pada 2000 dan 2004, memperlihatkan bahwa keputusan menyumbang ditentukan oleh pihak yang mengeluarkan uang atau yang memiliki penghasilan dalam keluarga. Namun, dominasi itu mulai luruh dengan keikutsertaan perempuan dalam memutuskan sumbangan dalam keluarga. Menurut PIRAC, seperti yang dikemukakan Ninik Annisa, hal ini mengindikasikan peralihan pengelolaan keuangan keluarga sehingga pihak yang memiliki penghasilan tidak otomatis menentukan keputusan dalam pengeluaran keluarga. Eksistensi perempuan sebagai ibu rumahtangga makin diakui meskipun tidak memiliki penghasilan. Namun, di sisi lain, hal itu juga menunjukkan sulitnya kondisi ekonomi sehingga keputusan untuk menyumbang harus dipegang bersama, suami dan istri, karena dapat mempengaruhi keuangan keluarga.


Di samping temuan itu, dalam acara “Philanthropy Goes to Campus” yang berlangsung pada Kamis (17/4) di Yogyakarta ini, secara lebih khusus Retno Agustin dan Dati Fatimah dari Perhimpunan Aksara memaparkan hasil penelitiannya tentang perempuan dan kerelawanan dalam bencana di Bantul. Mereka melihat bahwa kemacetan sistem sosial di tingkat atas ternyata menjadi inspirasi dan juga alasan bagi kerelawanan perempuan dalam masa darurat. Inisiatif perempuan di beberapa komunitas menunjukkan munculnya tokoh perempuan yang sebelum bencana tidak muncul atau tidak dihitung di ruang publik. Namun, pembagian peran secara seksual dalam masa setelah bencana mereproduksi sistem sebelum bencana. Sebagai contoh, dalam program pembangunan rumah oleh pemerintah, melalui Pergub. No. 23 tahun 2006 diasumsikan tidak ada masalah gender yang harus diintervensi dalam organ pengelolaan program. Dalam prosesnya, keterlibatan dan representasi perempuan dalam Pokmas pun masih sangat rendah karena adanya segregasi ruang dan peran berbasis gender.


Masih dengan konteks Yogyakarta, Farsijana Adeney-Risakotta menyoroti pergeseran “kedemawanan” sebagai suatu profesi. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Kristen Duta Wacana ini melihat bahwa saat ini filantropi sudah menjadi arena professional; orang bisa membangun kegiatan kemanusiaan untuk sekaligus menghidupi dirinya sendiri. Meskipun tidak melihat hal itu sebagai sesuatu yang salah, Farsijana menekankan keseimbangan untuk tidak menjadikan masyarakat semata-mata sebagai objek pekerjaan-pekerjaan sosial. Terkait dengan isu perempuan dan pemberdayaan filantropi perempuan, Farsijana mengamati adanya fakta bahwa kegiatan perempuan bisa dioperasikan secara tidak professional, tidak transparan, dan menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kesetiakawanan sosial. Selain masalah yang timbul dari konstruksi sosial, Farsijana mengidentifikasi masalah profesionalisme yang terletak pada relasi kekuasaan perempuan itu sendiri.


Mengantisipasi masalah ini, sejak awal pemberdayaan kapasitas perempuan harus disertai pula dengan membangun kemampuan kritis yang rendah hati. Selain itu, mekanisme operasional organisasi juga harus dapat dipetakan sejak awal agar proses kontrol dapat terintegrasi dan berkelanjutan. Farsijana juga melihat adanya kecenderungan kekuasan terpusat dalam kepemimpinan perempuan karena ketiaksiapan perempuan di akar rumput untuk memimpin. Karena itu, ia menyarankan agar proses pengorganisasian perempuan di kalangan akar rumput tidak dilakukan dengan ketergesaan sehingga muncul kesadaran diri untuk berperan sebagai pemimpin tanpa memberatkan dirinya sendiri. Organisasi juga harus membuat mekanisme agar setiap anggota memperoleh kesempatan belajar yang sama dengan orang-orang yang duduk di posisi pemimpin.*

Read More...