Kamis, 01 Mei 2008

Bukan Sekadar Gerakan Maya

Sofia Kartika

Menjelang 21 April yang lalu, seorang kawan saya yang mengajar di sebuah sekolah dasar diprotes wali murid. "Kenapa sekarang Hari Kartini tidak diperingati dengan parade berkebaya?" katanya. "Kamu kan aktivis perempuan. Menurutmu, kenapa ya?" katanya menyambung.

Sebenarnya tidak perlu berlabel aktivis perempuan untuk menjawab pertanyaan itu. Pergerakan waktu meminta orang merespons zaman sesuai dengan kebutuhannya. Di masa blog menjadi bagian dari keseharian ini, perempuan menegaskan keberadaan dirinya dengan menciptakan ruang-ruang di blog, salah satunya sebagai refleksi gerakan perempuan.


Jejaring
Sekitar 2003, Labibah Zain, seorang ibu rumah tangga, berinisiatif membangun sebuah jejaring di dunia maya untuk berkomunikasi kembali dengan teman-teman lamanya melalui sebuah jaringan komunitas bernama Blog Family--atau biasa disebut Blogfam. Mengingat domisilinya di Kanada, cara inilah yang menurut dia paling tepat dilakukan. Jejaring ini salah satunya memfasilitasi kelompok perempuan berbagi cerita tentang kehidupan sehari-hari. Topik-topik yang sebelumnya didomestifikasi, seperti pengasuhan anak dan memasak, mengemuka pada media alternatif tersebut. Berbaur dengan isu pendidikan, kesehatan ibu dan anak, dan informasi mengenai pernikahan lintas negara--seperti yang dilakukan Hartatinurwijaya di 1000womenpeaceindonesia.blogspot.com--mengisi ruang-ruang di blog.

Selain Blogfam, banyak lagi komunitas maya dilahirkan. Kelompok-kelompok tersebut hadir untuk menjembatani perempuan di berbagai kalangan dan latar belakang. Di samping berbagi informasi dan pengetahuan, komunitas maya ini hadir untuk menjawab kebutuhan kelompok perempuan membentuk jaringan. Disusunlah kelompok sesuai dengan kekhasan masing-masing. Ada kelompok yang berani memasak dan membuat kue, ibu yang berbagi pengalaman mengenai air susu ibu eksklusif, kelompok rajut, dan kelompok belajar bahasa.

Tak ketinggalan para aktivis perempuan. Sekumpulan aktivis perempuan yang melakukan dampingan pada korban 1965 membentuk sebuah blog untuk merekam hasil advokasi mereka. Hal yang sama dilakukan aktivis lain yang mengadvokasi isu pemberdayaan ekonomi. Mereka melahirkan blog masing-masing lantas berjejaring dengan blog aktivis perempuan yang lain. Coba tengok Center for Community Development and Education Aceh. Melalui blognya, mereka mengabarkan kegiatan menguatkan kelompok perempuan di Aceh. Pelbagai kegiatan yang didokumentasikan oleh mereka dalam bentuk foto dan tulisan tentang pengalaman dampingan dibagi dan dikomunikasikan dengan aktivis lain, baik yang mempunyai fokus yang sama maupun yang berbeda.

Kelompok-kelompok yang mengambil fokus pemberdayaan ekonomi menapak lebih jauh lagi. Mereka yang memiliki usaha kecil dan menengah ini memanfaatkan blog sebagai media interaksi yang murah, misalnya usaha toko kue online, buku, sepatu, aksesori manik, dan produk lainnya. Sayangnya, proses ketersediaan ruang interaksi produsen-konsumen yang disediakan oleh blog sebagai wahana pendukung langkah-langkah pemberdayaan--yang beberapa waktu lalu digembar-gemborkan Menteri Komunikasi dan Informatika--pun terkena imbas gebyar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan rilis film Fitna. Pemberangusan beberapa situs, seperti YouTube, Multiply, dan Blogspot, tak pelak lagi mempengaruhi usaha kelompok perempuan. Sejumlah keluhan sempat ditampilkan dalam koran ini pada 11 April lalu. Beberapa pengguna jasa blog perempuan cukup tersiksa ketika layanan blog terhambat karena berakibat pada terhambatnya interaksi ekonomi.

Lembaga setingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa tak ketinggalan dalam pemanfaatan media blog ini. Terkait dengan isu pemberdayaan ekonomi, mereka mempergunakan Internet sebagai salah satu media alternatif sebagai upaya penguatan usaha kecil dan mikro. Untuk itu, rasanya tidak perlu menunggu membuat website sempurna karena blog bisa menjadi alternatif dalam menguatkan usaha kecil dan mikro dan sektor ini paling banyak dilakoni oleh kelompok perempuan. Dengan blog, salah satu persoalan dalam pengembangan ekonomi produktif oleh kelompok perempuan, yaitu jaringan, pemasaran, dan informasi, paling tidak bisa diatasi.

Terapi
Resep ini pernah diucapkan oleh seorang aktivis perempuan terpandang dari Mesir, Nawal el-Sadawi. Penulis novel Perempuan di Titik Nol ini percaya bahwa menulis adalah obat paling manjur bagi perempuan untuk menghilangkan kerut wajah, bahkan lebih baik daripada krim pemutih. Selain sebagai ruang berbagi aktivitas kelompok perempuan, blog dapat dijadikan sebagai ruang untuk menuangkan pikiran, menuliskan pandangan perempuan dalam melihat persoalan di sekelilingnya.

Seorang korban kekerasan dalam rumah tangga menggunakan blog sebagai media terapi. Ia menuliskan bagaimana kekerasan tersebut dilakukan suaminya dan bagaimana ia berulang-ulang terjebak pada lingkar kekerasan. Mekanisme comment (komentar) memberikan alternatif pilihan solusi masalahnya, seperti mengajukan proses hukum, bercerai, ditambah informasi dari pembaca blognya bahwa telah ada undang-undang yang mengatur tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Berkat "terapi" tersebut, dorongan untuk keluar dari lingkar kekerasan semakin kuat. Akhirnya dia berani mengambil keputusan cerai. Terapi menulis ini sekaligus bisa menghindarkan korban kekerasan menjadi pelaku kekerasan.

Di koran ini, pada 18 April lalu, juga pernah dikisahkan tentang seorang ibu yang ingin belajar menulis dan ngeblog. Menulis, menurut dia, adalah salah satu ekspresi diri dan cerminan berbagi pengalaman, sementara blog adalah media yang mudah dan murah. Dulu Kartini menulis sura kepada Nyonya Abendanon untuk menceritakan pengalaman dan pandangannya terhadap peristiwa yang terjadi di lingkungan di sekitarnya. Kini blog memfasilitasi perempuan untuk berbagi dan menjadikannya sebagai sebuah gerakan pemberdayaan yang nyata.


Koran Tempo, 26 April 2008

Tidak ada komentar: