Rabu, 21 Mei 2008

Luka Mei, Setelah 10 Tahun

Sepulang menghadiri acara Peluncuran Laporan Khusus Komnas Perempuan tentang Kekerasan Seksual Mei 1998 dan Dampaknya “Saatnya Meneguhkan Rasa Aman: Langkah Maju Pemenuhan Korban Kekerasan Seksual” di halaman kantor Komnas Perempuan, Kamis (15/5), seorang kawan saya bertanya, “Bagaimana perkembangannya [kasus kekerasan Mei ‘98]?” Kawan saya itu seorang perempuan keturunan Tionghoa. Saya lupa bertanya di mana ia ketika kerusuhan 10 tahun lalu itu terjadi. Namun, andaipun ia selamat pada bencana yang terjadi saat itu, dari smsnya saya menangkap adanya kengerian yang sangat. “Dari tadi pagi mau nangis inget kerusuhan Mei. Rasanya sakit banget.”

Dalam temuan yang dipaparkan Pelapor Khusus Prof. DR. Saparinah Sadli terekam bahwa korban kekerasan seksual Mei 1998, yaitu perempuan-perempuan dari etnis Tionghoa, sebagian besar memilih bungkam. Selebihnya, mencoba memutus hubungan dengan masa lalu dengan cara meninggalkan Indonesia atau berganti identitas. Mereka bersikap demikian karena “masih terbatasnya landasan legal dan adanya budaya impunitas yang telah menciptakan kondisi yang belum bisa meneguhkan rasa aman perempuan korban kekerasan seksual Mei 1998.”


Bukan sekali ini tubuh perempuan menjadi ajang unjuk kekuasaan pihak-pihak yang merasa perlu melanggengkan kekuasaan tersebut. Dalam situasi konflik tubuh perempuan dikenali sebagai identitas komunitas. Penguasaan terhadap tubuh perempuan dari pihak musuh adalah strategi yang kerap dilakukan untuk menguasai dan menjatuhkan lawan. Komnas Perempuan, sebelumnya, telah mencatat kasus serupa pada masa konflik di Aceh, Papua, dan Timor Timur.

Dalam konteks tragedi Mei, kekerasan seksual yang terjadi, antara lain berupa gang rape (perkosaan yang dilakukan oleh sekelompok orang secara bergantian pada satu waktu kejadian), adalah skenario yang telah dipersiapkan “sebagai bagian dari kerusuhan itu sendiri.” Pengerusakan tubuh perempuan ini diartikan sebagai “puncak pelampiasan kemarahan sekaligus pernyataan penaklukan atau kekuasaan atas komunitas Tionghoa.” Meskipun bukan merupakan konflik etnis, komunitas Tionghoa adalah sasaran yang dibidik dalam kerusuhan tersebut. Sejak mula, rezim menurut Charles Coppel, Orde Baru telah mengkambinghitamkan komunitas Tionghoa dengan melabeli mereka sebagai penjahat komunis, tukang sabotase perekonomian (hlm. 20).

Ada!
Hampir mustahil membentengi perempuan dengan rasa aman kalau kasus kekerasan seksual itu sendiri diragukan keberadaannya. Dalam laporannya, mantan komisioner Komnas Perempuan itu menulis, “Sebagian pejabat Negara masih menganggap tindak kekerasan seksual Mei 1998 sebagai DUGAAN selama belum adanya pembuktian hukum.” Sementara itu, “pembuktian secara hukum” itu sendiri dirasa sangat menyulitkan “akibat minimnya bukti dan tidak ada korban yang mau bersaksi.” Di luar itu, kita patut bersedih karena “selama ini berbagai upaya penegakan kasus pelanggaran HAM belum pernah mengangkat adanya kasus kekerasan seksual terhadap perempuann, meskipun tidak lagi menjadi rahasia bahwa dalam setiap kekerasan bersenjata selalu juga terjadi kekerasan seksual.”

Untuk membesarkan hati kita, perempuan yang kerap disapa Ibu Sap ini mencatatkan komitmen pemerintah, berupa pengesahan UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (atas rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan 13-15 Mei 1998) dan peratifikasian sejumlah konvensi dalam undang-undang, antara lain Konvensi Anti Penyiksaan, Konvensi Anti Diskriminasi Rasial, Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, dan Kovenan Hak Sosial, Ekonomi, dan Budaya. Pertanyaan selanjutnya, apakah cukup dengan itu?

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta menjawab, “Kita tidak boleh hanya mengutuk, tetapi juga mencegah supaya [kejadian Mei] tidak terulang lagi.” Dengan cara, lanjutnya, mengubah pola pikir dan menanamkan pemahaman tentang anti kekerasan dimulai dari unit terkecil masyarakat. Meutia tidak menampik bahwasanya penguatan landasan hukum juga perlu dilakukan. Karena itu, sambung Ibu Sap, UU tersebut perlu ditindaklanjuti pada peraturan pelaksanaannya dan kerangka kebijakan yang memberi manfaat langsung bagi perempuan korban kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 98, dan dalam berbagai konteks konflik bersenjata lainnya.

Upaya tersebut dalam terlihat dengan segera direvisinya aturan hukum tentang perkosaan agar memenuhi standar internasional, segera pula membentuk lembaga perlindungan saksi dan korban, dan mengintegrasikan Jakarta Protocol yang disusun oleh Ikatan Dokter Indonesia sebagai alat penyelidikan pelanggaran HAM berbasis gender. Sebagai Pelapor Khusus Tragedi Mei, Ibu Sap mengajak masyarakat untuk membantu pemulihan perempuan korban dengan “memastikan sejarah perkembangan didasarkan pada kebenaran” dan, sebagaimana juga dituturkan Ketua Komisioner Komnas Perempuan Kemala Chandrakirana, terus berupaya melawan lupa akan Tragedi Mei 1998, juga tragedi-tragedi lainnya yang memberi ruang terjadinya kekerasan seksual pada perempuan.(RA)

Tidak ada komentar: