Kamis, 01 Mei 2008

Pemberdayaan Kedermawanan Perempuan

Latifah


Meningkatnya eksistensi perempuan secara signifikan terungkap dalam hasil survei PIRAC. Dari survei yang dilakukan pada 2007 lalu, terlihat bahwa perempuan memegang peran yang besar dalam pengambilan keputusan di keluarga berkaitan dengan kegiatan filantropi. Survei yang dilakukan sebelumnya, yaitu pada 2000 dan 2004, memperlihatkan bahwa keputusan menyumbang ditentukan oleh pihak yang mengeluarkan uang atau yang memiliki penghasilan dalam keluarga. Namun, dominasi itu mulai luruh dengan keikutsertaan perempuan dalam memutuskan sumbangan dalam keluarga. Menurut PIRAC, seperti yang dikemukakan Ninik Annisa, hal ini mengindikasikan peralihan pengelolaan keuangan keluarga sehingga pihak yang memiliki penghasilan tidak otomatis menentukan keputusan dalam pengeluaran keluarga. Eksistensi perempuan sebagai ibu rumahtangga makin diakui meskipun tidak memiliki penghasilan. Namun, di sisi lain, hal itu juga menunjukkan sulitnya kondisi ekonomi sehingga keputusan untuk menyumbang harus dipegang bersama, suami dan istri, karena dapat mempengaruhi keuangan keluarga.


Di samping temuan itu, dalam acara “Philanthropy Goes to Campus” yang berlangsung pada Kamis (17/4) di Yogyakarta ini, secara lebih khusus Retno Agustin dan Dati Fatimah dari Perhimpunan Aksara memaparkan hasil penelitiannya tentang perempuan dan kerelawanan dalam bencana di Bantul. Mereka melihat bahwa kemacetan sistem sosial di tingkat atas ternyata menjadi inspirasi dan juga alasan bagi kerelawanan perempuan dalam masa darurat. Inisiatif perempuan di beberapa komunitas menunjukkan munculnya tokoh perempuan yang sebelum bencana tidak muncul atau tidak dihitung di ruang publik. Namun, pembagian peran secara seksual dalam masa setelah bencana mereproduksi sistem sebelum bencana. Sebagai contoh, dalam program pembangunan rumah oleh pemerintah, melalui Pergub. No. 23 tahun 2006 diasumsikan tidak ada masalah gender yang harus diintervensi dalam organ pengelolaan program. Dalam prosesnya, keterlibatan dan representasi perempuan dalam Pokmas pun masih sangat rendah karena adanya segregasi ruang dan peran berbasis gender.


Masih dengan konteks Yogyakarta, Farsijana Adeney-Risakotta menyoroti pergeseran “kedemawanan” sebagai suatu profesi. Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Kristen Duta Wacana ini melihat bahwa saat ini filantropi sudah menjadi arena professional; orang bisa membangun kegiatan kemanusiaan untuk sekaligus menghidupi dirinya sendiri. Meskipun tidak melihat hal itu sebagai sesuatu yang salah, Farsijana menekankan keseimbangan untuk tidak menjadikan masyarakat semata-mata sebagai objek pekerjaan-pekerjaan sosial. Terkait dengan isu perempuan dan pemberdayaan filantropi perempuan, Farsijana mengamati adanya fakta bahwa kegiatan perempuan bisa dioperasikan secara tidak professional, tidak transparan, dan menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kesetiakawanan sosial. Selain masalah yang timbul dari konstruksi sosial, Farsijana mengidentifikasi masalah profesionalisme yang terletak pada relasi kekuasaan perempuan itu sendiri.


Mengantisipasi masalah ini, sejak awal pemberdayaan kapasitas perempuan harus disertai pula dengan membangun kemampuan kritis yang rendah hati. Selain itu, mekanisme operasional organisasi juga harus dapat dipetakan sejak awal agar proses kontrol dapat terintegrasi dan berkelanjutan. Farsijana juga melihat adanya kecenderungan kekuasan terpusat dalam kepemimpinan perempuan karena ketiaksiapan perempuan di akar rumput untuk memimpin. Karena itu, ia menyarankan agar proses pengorganisasian perempuan di kalangan akar rumput tidak dilakukan dengan ketergesaan sehingga muncul kesadaran diri untuk berperan sebagai pemimpin tanpa memberatkan dirinya sendiri. Organisasi juga harus membuat mekanisme agar setiap anggota memperoleh kesempatan belajar yang sama dengan orang-orang yang duduk di posisi pemimpin.*

Tidak ada komentar: