Jumat, 16 Mei 2008

Mendongkrak Partisipasi dan Perlindungan Perempuan melalui KIE

Indonesia bukanlah negara konflik. Namun, kita tidak dapat menutup mata akan adanya beberapa wilayah yang menjadi lahan pertempuran—baik dengan motif pertentangan etnis, agama, ataupun perebutan sumber daya alam. Apapun pemicunya dan seberapapun besarannya, konflik selalu menyasar perempuan dan anak-anak sebagai korban. Di Aceh, menurut berbagai sumber, sebagaimana dikutip Adriana Venny, pada masa pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) kasus perkosaan yang teridentifikasi sebanyak 40 kasus. Belum lagi kasus pelecehan seksual, kekerasaan seksual pada saat interogasi, ditangkap dan ditahan karena aktivitas politik suami atau keluarga. Korban rayuan militer juga terjadi hampir di seluruh daerah konflik yang melibatkan aparat keamanan.

Komnas Perempuan mencatat, di Aceh, kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi selama masa konflik sampai penandatangan perjanjian perdamaian sebanyak 103 kasus. Kekerasan juga terjadi di dua daerah lain yang pernah diterapkan DOM, Papua dan Timor Timur (saat itu Timor Timur masih menjadi wilayah Indonesia). Pelapor khusus PBB menerima laporan dari Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi bahwa sebanyak 853 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi antara tahun 1974 sampai dengan 1999. Sebagian besar kekerasan berupa perkosaan, kekerasan lainnya berupa perbudakan seksual. Dan sebagaimana diungkapkan Venny, pelaku utamanya adalah militer dan polisi.

Data-data yang disebutkan Venny, yang dicatat Komnas Perempuan, dan yang diterima Pelapor Khusus PBB bukanlah sekedar angka. Satu saja kasus yang terjadi itu sudah jumlah yang terlalu banyak. Oleh karena itu, dalam Workshop Penyusunan KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) Perlindungan Perempuan di Daerah Rawan Konflik yang digagas Kementerian Pemberdayaan Perempuan selama 2 hari (6-7 Mei), di Bogor, sejumlah kalangan terkait, di antaranya pemerintah dan LSM, diundang untuk merumuskan bahan KIE untuk meningkatkan perlindungan dan partisipasi perempuan di wilayah konflik.


Payung Hukum
Dalam tataran internasional, penanganan konflik mengacu pada resolusi 1325. Resolusi ini, meskipun dilahirkan oleh Dewan Keamanan PBB yang notabene beranggotakan 5 negara besar dengan hak vetonya, sesungguhnya lahir atas desakan sejumlah NGO yang bekerja di ranah akar rumput. Dalam pelaksanaannya sendiri, Indonesia yang turut menandatangani resolusi tersebut 8 tahun lalu telah mengimplementasikannya dalam pelbagai kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut tidak secara langsung berpayung pada resolusi yang disepakati di New York, 31 Oktober tersebut. Indonesia sendiri telah lebih dulu mengintegrasikan keterlibatan perempuan dalam pelbagai bidang melalui program pengarusutamaan gender yang mengacu pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).

Tahun lalu, Indonesia telah mengesahkan UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Di dalamnya, termasuk juga mengatur soal bencana sosial/konflik. Sayangnya, sejumlah pihak menengarai pasal tersebut belum responsif gender. Dengan demikian, menjadi penting pula untuk mengawal pembahasan RUU Penanggulangan Konflik yang sedang dibahas. Bersamaan dengan itu, partisipasi dan perlindungan yang menjadi kata kunci dalam pertemuan 2 hari tersebut sedang didorong agar diteguhkan dalam berbagai fase konflik. Mulai dari meningkatkan pengetahuan tentang konflik dan cara penanganan yang responsif gender sampai proses perdamaian yang sudah seharusnya menyertakan perempuan.

Peran serta perempuan yang digagas tesebut tidak akan bisa diwujudkan dengan daya perempuan sendiri. Sebagiamana lazim diketahui, ketertinggalan perempuan dalam pelbagai aspek kehidupan seringkali disandung masalah adat dan agama. Oleh karena itu, dalam KIE tersebut, tokoh masyarakat dan adat, juga pemerintah, didesak pula untuk memberi ruang bagi perempuan untuk aktif pada masa konflik dan dalam proses perdamaian.(RA)

Tidak ada komentar: