Minggu, 27 April 2008

Ke Mana Arah Kebijakan?

Sofia Kartika

Namanya Besse. Daeng Besse. Barangkali tak pernah terlintas di benak perempuan 36 tahun tersebut bahwa dirinya akan dibicarakan selama berhari-berhari di berbagai media massa. Tidak cuma tv dan koran di Makassar, tempat dia menumpang hidup, melainkan juga media massa di tersebar di seluruh Indonesia. Kalau bisa memilih, sekali lagi, barangkali Daeng Besse tidak ingin diberitakan seperti sekarang: meninggal ketika sedang hamil 7 bulan, yang tak mau diakui, karena kelaparan. Akan tetapi Daeng Besse seakan tidak punya pilihan. Jalan Daeng Tata, alamat terakhirnya, yang terletak tak jauh dari pusat pemerintahan Makassar tidak dapat membuatnya terjangkau dari sensus pendataan warga miskin.


Ironi tak terelakkan lagi. Apalagi jika mengetahui 3 bulan sebelum kejadian ini Gubernur Sulawesi Selatan H. M. Amin Syam mengutus Kepala Badan Ketahanan Pangan Sulsel Prof. Dr. H.A. Ambo Alla untuk menerima Penghargaan Ketahanan Pangan Tahun 2007 dari Presiden di Istana Negara, Jakarta. Dengan enggan kita terhela tamsil tua, tikus mati di lumbung padi. Dugaan kami, jangan-jangan, ketika gaung ketahanan pangan dielu-elukan, kita malah alpa siapa sasaran langsung dari program ketahanan pangan itu? Ya, mereka ini, kelompok-kelompok terpinggirkan yang bergaul sehari-hari dengan kemiskinan, dan perempuan jumlah terbanyak dalam kelompok tersebut, memang kerap terlanggar hak-haknya. Padahal, pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, budaya adalah jalan tol menuju pelanggaran hak-hak sipil dan politik (Kompas, 10 Maret 2008). Dan kematian Besse adalah satu misal tak terpenuhinya hak paling dasar warga negara, yakni hak atas hidup.



Tak kurang-kurang konvensi internasional ditandatangani. Belum lagi produk perundang-undangan yang dicetak oleh pemerintah sendiri sebagai wujud komitmen atas penandatanganan kesepakatan tersebut. Bentuk pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang telah berusia puluhan tahun telah mendorong lahirnya Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender di segala sektor pembangunan. Kita juga punya Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 132 tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah, yang mendorong adanya anggaran 5% untuk pemberdayaan perempuan. Pemerintah kita bahkan telah bersetuju merentas kemiskinan melalui Millenium Development Goals (MDGs) yang ditandatangani di New York tahun 2000.


“Kita telah secara nyata mengurangi kemiskinan,” ungkap Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional H. Paskah Suzetta, dalam laporan pencapaian MDGs 2007/2008. Target menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk dengan tingkat pendapatan kurang dari US$ 1 per hari telah mencapai angka yang ingin dicapai. Menurun dari 20% pada tahun 1990 menjadi 7,5% saat ini.


Paskah Suzetta meyakinkan, pencapaian sasaran MDGs menjadi salah satu prioritas utama bangsa Indonesia. Sasaran-sasaran ini lantas diterjemahkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009. Kemiskinan dan kelaparan menempati urutan pertama dalam target MDGs yang harus sudah terengkuh paling akhir 2015. Namun, sudahkah komitmen untuk melakukan ‘perang’ terhadap kemiskinan ini terdistribusi dengan baik sampai pada level pemerintahan paling bawah?


Karena telah tercantum dalam dokumen resmi perencanaan pemerintah nasional, maka mutlak
bagi Propinsi dan Kabupaten untuk menjadikan dokumen tersebut sebagai payung, acuan dalam mengejawantahkan kebijakannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat laki-laki dan perempuan, terutama dalam rencana kerja tahunan.


Untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat laki-laki dan perempuan, Pemerintah daerah harus menyediakan data terpilah menurut jenis kelamin. Data kuantitatif ini tidak akan berarti jika tidak ditindaklanjuti dengan melibatkan kelompok miskin laki-laki dan perempuan dalam proses perencanaan (penganggaran) di daerah, misalnya musyawarah rencana pembangunan (musrembang), dan dipastikan bahwa kebutuhan kelompok miskin ini mendapat prioritas secara proposional dalam kebijakan yang responsif gender.


Komitmen meraih target MDGs ini pun tidak hanya berputar pada perencanaan program kerja, sebagaimana halnya tidak bisa menutup kebutuhan masyarakat miskin dengan memberi raskin dan bantuan uang Rp 300.000 per keluarga. Kelompok perempuan miskin dan anak-anak yang menjadi kelompok rentan berhak mendapat akses kesehatan dan pendidikan. Kesehatan tidak hanya sebatas askeskin (yang telah berganti menjadi Jamkesmas) yang dapat digunakan saja, tetapi juga informasi mengenai bagaimana mendapatkan gizi yang baik untuk anak-anak mereka dengan kondisi yang mereka hadapi, perkenalan terhadap ragam jenis pangan, dan sebagainya.


Konsistensi untuk menghasilkan kebijakan yang responsif gender ini sebenarnya telah memiliki payung dengan melakukan pengintegrasian PUG dalam perencanaan pembangunan ini, yang ditekankan dalam Inpres No 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender, pelaksanaan PUG ini menjadi strategis untuk menjawab kealpaan pembuat kebijakan (seperti yang dituliskan dalam Kompas, 10 Maret 2008) bahwa kelompok perempuan adalah salah satu sasaran pembangunan yang dalam RPJMN 2004-2009, mutlak ditingkatkan kualitas hidupnya dan dipenuhi hak-hak dasarnya. Kiat ini sekaligus menjawab bagaimana mengembangkan program pembangunan yang mampu menyentuh kebutuhan masyarakat miskin laki-laki dan perempuan sehingga tidak ada cerita Besse yang lain.

Tidak ada komentar: