Minggu, 27 April 2008

Kondisi Perempuan Kalimantan Barat

Joko Sulistyo

Masih rendahnya partisipasi perempuan di ruang publik merupakan permasalahan mendasar bagi pembangunan pemberdayaan perempuan. Hal tersebut terlihat juga dari masih sedikitnya perempuan yang menduduki jabatan struktural. Permasalahan tersebut berakibat pula pada masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan juga traffiking.

Walaupun Indonesia telah meratifikai Konvensi CEDAW melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984, akan tetapi implementasinya belum dapat terlihat dengan jelas. Konvensi CEDAW sendiri merupakan sebuah perjanjian internasional yang paling konprehensif dan menetapkan kewajiban hukum yang mengikat untuk mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi ini juga telah menetapkan persamaan kesempatan perempuan dan laki-laki untuk menikmati hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Tetapi teryata sampai saat ini perempuan belum mendapatkan haknya secara penuh. Perlakuan diskriminasi terhadap perempuan masih saja terjadi pada perempuan. Beberapa peraturan daerah yang muncul yang inisiasi awalnya adalah untuk melindungi perempuan malah cenderung mendiskriminasikan perempuan. Hal tersebut tentu membawa permasalahan baru bagi upaya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.

Mengacu pada konvensi CEDAW tersebut propinsi Kalimantan Barat telah mengeluarkan Perda No. 7 tahun 2007 tentang pencegahan pemberantasan perdagangan orang terutama perempuan dan anak. Perda ini muncul berdasarkan inisiasi dari DPR.

Propinsi Kalimantan barat sendiri secara geografis berbatasan dengan Serawak-Malaysia Timur . Wilayah ini juga di jadikan sebagai pusat pemerintahan dan bisnis. Di kawasan perbatasan ini terdapat 62 dusun pada 42 desa yang berbatasan langsung dengan 44 kampung di Serawak. Di kawasan ini juga di tetapkan 5 pusat pertumbuhan ekonomi yang oleh Pemda provinsi Kalimantan Barat disebut sebagai Border Development Center (DOC).

Karena wilayah geografisnya tersebut, masalah kemiskinan, rendahnya pendidikan dan keterampilan khususnya bagi perempuan, spent on controll (rentang kendali pemerintah) yang terlalu luas dan perkawinan transnasional membawa dampak pada tingginya traffiking perempuan dan anak di daerah ini.

Lahirnya Perda No. 7 tahun 2007 tersebut diharapkan dapatr mengurangi tingginya kasus traffiking yang terjadi.

Kalimantan Barat sendiri memiliki luas 146.807 KM persegi yang merpakan 7.53% dari wilayah Indonesia. Dengan luas wilayah yang demikian itu Kalimantan barat hanya berpenduduk kurang lebih 4 juta jiwa (2005). Jumlah penduduk yang demikian itu baru ada 3 orang perempuan yang menjadi anggota DPRD, dari 55 orang anggota. Sedangkan di kabupaten /kota ada 19 orang dari 376 orang.

Hal tersebut tentu memperparah kondisi perempuan di Kalimantan Barat. Disini dapat terlihat dengan jelas adanya kesenjangan partisipasi politik perempuan. Kesenjangan tersebut bersumber dari ketimpangan struktur sosial-kultural masyarakat yang diwarnai penafsiran dari terjemahan ajaran agama yang bias gender.

Dalam konteks sosial kesenjangan itu mencerminkan masih terbatasnya akses sebagian besar perempuan terhadap layanan kesehatan yang lebih baik. Hal tersebut berakibat pula pada tingginya angka kematian ibu melahirkan. Menurut data dari BPS pada tahun 2004 angka kematian ibu di Pontianak mencapai 425 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab dari semua itu adalah adanya keberadaan lingkungan dan kepercayaan masyarakat. Disamping itu infra struktur yang ada. Hal penting lainnya adalah perbedaan kualitas pelayanan kesehatan.

Melihat kondisi tersebut tentu saja Kalimantan Barat masih jauh menuju target dari MDGs. Untuk mencapai tujuan tersebut tentu saja dibutuhkan kerjasama dari semua pihak. Selain itu juga permasalahan pemberdardayaan perempuan harus dipetakan. Secara jelas dan obyektif, sehingga kantong-kantong daerah seperti pedalaman, perbatasan, kepulauan dan pesisir di kabupaten/kota kecamatan dan kelurahan, desa yang memiliki banyak masalah pemberdayaan perempuan dapat terpetakan.

Tidak ada komentar: