Minggu, 27 April 2008

Kekerasan di Rumah Besse

Henny Irawati

Konon, hulu perkara adalah data. Keluarga Basri yang tinggal di sebuah sudut kawasan kumuh Makassar ini terlewat dari pendataan warga miskin. Rumahnya yang terbuat dari seng dan kayu dengan ukuran 8x4 meter tak membuat para pendata mengenali kemiskinannya. Kepala Dinas Sosial Makassar, Ibrahim Saleh, mengaku kesulitan mendata warga miskin di Makassar. “Terutama yang berpindah-pindah,” ungkapnya. Lagipula itu “dosa” Basri sendiri. “Basri tidak pernah melapor,” demikian papar Jufri, Ketua Rukun Tetangga (RT), lingkungan Basri tinggal. Tak main-main buah “dosa” yang harus ditanggung Basri; kematian istri bersama janin yang sudah memasuki usia tujuh bulan dan anak ketiganya.

“Saya tak punya uang,” ujar laki-laki yang bekerja sebagai pengayuh becak ini ketika tetangga-tetangganya menyarankan ia membawa Besse (36 tahun), istri, dan Bahir (5 tahun), anaknya, yang sudah dua hari terbaring sakit, pergi ke dokter. Gagasan “pergi ke dokter” memang terdengar mewah di telinga Basri, mengingat sekilo pun beras tak terbeli untuk makan keluarga dengan empat anak itu. Selain tak mengantongi asuransi kesehatan masyarakat miskin (Askeskin) yang telah berganti nama menjadi jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), keluarga Besse yangg tidak tercatat sebagai kelompok miskin pun tak mendapat jatah raskin.


Persoalan data membuat geram anggota Komisi II DPR Nursyahbani Katjasungkana. “Nyawa manusia seolah bisa disederhanakan menjadi data, dan data akhirnya menjadi ‘pembunuh’ karena korban tak ada dalam data orang miskin.” (Kompas, 10 Maret 2008) Data memang tidak seharusnya berhenti sebagai seonggok angka-angka, kalau dia tidak mau menjadi ‘pembunuh’. Bagaimana menjebol tembok data dan realitalah pertanyaan selanjutnya. Strategi pemerolehan data musti dibenahi dan merepresentasikan kelompok perempuan dan laki-laki. Berangkat dari data terpilah ini kebutuhan dua jenis kelamin dirumuskan menjadi penetapan anggaran dan kebijakan (program) yang responsif jender. Apakah dengan begitu lantas terpenuhi hak-hak kelompok yang terpinggirkan ini? Edriana Noerdin (WRI, 2006) memberikan satu pertanyaan lagi. Selama ini jangkauan program lebih banyak bertumpu pada program-program kerja di ruang publik. Bagaimana dengan persoalan yang terjadi di ruang privat?

Dalam kasus Besse, kematiannya dibaca sebagai imbas dari kemiskinan yang kasatmata. Namun, bagaimana dengan temuan berikut ini. “Basri menampik anaknya pernah sehari tidak makan, tetapi Salma (putri sulungnya) mengungkap sebaliknya. … “Kadang tidak makan seharian,” kata Salma. … Mina menguatkan penuturan Salma. Basse paling banter membeli beras satu liter di warungnya. “Itu pun tidak setiap hari.” (Tempo, Edisi 10-16 Maret 2008) Si pengayuh becak mengaku penghasilannya Rp 5.000 hingga Rp 10.000, terhitung kecil dibanding kawannya sesama tukang becak yang minimal bisa membawa pulang Rp 20.000-Rp 75.000. Padahal Basri, masih dari sumber yang sama, diketahui, dalam sehari dapat menghisap sebungkus rokok Rp 3.000.

Sementara Basri tengah membakar tembakau, Basse, perempuan yang sedang hamil tua itu, memutar otak, mencari celah mengelola uang tak seberapa supaya tetap bisa memberi makan seluruh suami dan anak-anaknya. Dan jangan-jangan Besse melupakan makannya sendiri. Barangkali kita belum lupa, salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu adalah lekatnya budaya kalau perempuan, terlebih ibu, mendahulukan makanan untuk anggota keluarga yang lain.

Pemerintah, atau negara, berdiri dan menutup mata pada kondisi Besse di luar pintu rumah 8x4 itu. Di dalam rumah pun situasinya tak lebih baik. Tetangga-tetangga pernah memergoki Basri membawa lima liter tuak. Kecilnya penghasilan pun ditengarai tergerogoti oleh kegemarannya main judi.

Ketika berbicara mengenai kekerasan berbasis jender di Indonesia Koordinator Anti Kekerasan Berbasis Gender (Gender Based Violence) Adriana Venny merumuskan, kekerasan itu terjadi semasa hak asasi manusia terlanggar, baik itu hak untuk hidup, hak mendapatkan pendidikan, hak untuk memilih, hak untuk mendapatkan standar hidup yang layak sebagai menusia, hak untuk berpendapat, hak untuk bebas dari penyiksaan dan hak untuk mendapatkan rasa aman sebagai manusia.

Jika mengacu pada rumusan itu, berapa hak Besse yang sudah terlanggar? Lagi-lagi, di sini persoalannya bukan kumpulan jumlah. Kekerasan yang dialami Besse bisa jadi tidak berupa pukulan atau sayatan, tetapi kejadian yang menimpanya itu bisa jadi lebih pedih, bahkan telah terbukti berujung pada kematian. Pengabaian di ruang-ruang privat adalah sebentuk kekerasan juga. Dan kekerasan beruntun yang menimpa Besse. Semoga ini bukan “peristiwa brutal yang dianggap biasa.”

Tidak ada komentar: