Minggu, 27 April 2008

Perempuan dan Momentum Politik

Adriana Venny

Pemilu 2009 sudah kian dekat, dan Indonesia butuh lebih banyak perempuan untuk terjun dalam dunia politik! Demikian adalah salah satu tema kampanye dari Peringatan Hari Perempuan Internasional tanggal 8 Maret 2008 ini. Dan di level nasional, momentum perayaan Hari Perempuan Internasional tahun ini ditandai dengan keberhasilan gerakan perempuan dalam mendorong tindakan khusus sementara 30% perempuan di parlemen dalam UU Parpol dan UU Pemilu.

Harapan itu menjadi kian meluap di tengah maraknya berbagai persoalan kekerasan berbasis gender di Indonesia: angka kematian ibu hamil dan melahirkan yang tinggi, kekerasan domestik, kekerasan seksual, trafiking, rendahnya partisipasi perempuan dalam pendidikan, terabaikannya hak-hak reproduksi perempuan, makin maraknya Perda-perda diskriminatif perempuan, tingginya kasus penganiayaan terhadap buruh migran perempuan, diskriminasi upah dan sebagainya. Semua ini selain diakibatkan karena kultur yang masih sangat patriarkis, kebijakan publik yang ada belum responsif terhadap perempuan, juga karena perempuan jarang dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan.

Padahal Indonesia butuh lebih banyak perempuan terjun dan berpartisipasi dalam dunia politik dan pengambilan kebijakan, sehingga kebijakan yang dihasilkanpun lebih ramah terhadap perempuan. Sejalan dengan pemikiran Adrienne Rich seorang tokoh perempuan, sebagai politik feminis: politik yang terus mempertanyakan persoalan perempuan negeri. Tapi faktanya di Indonesia, saat ini di parlemen hanya ada 11,7 % perempuan anggota legislatif. Dan mayoritas laki-laki lalu memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang mengabaikan hak-hak perempuan karena ketidakpahaman akan kebutuhan spesifik perempuan.

Dalam DPD, persoalan minimnya jumlah perempuan sebenarnya sudah hampir usai. Terbukti dari jumlah yang cukup besar (21%) perempuan di DPD saat ini. Jumlah ini juga mengandung makna tingginya kepercayaan masyarakat pada integritas pemimpin perempuan. Bukan laki-laki. Namun jika nanti Parpol bisa mengintervensi kamar DPD seperti yang sudah termaktub dalam UU Pemilu yang baru, maka kekhawatiran para aktivis mungkin akan terbukti dimana jumlah keterwakilan perempuan dapat langsung melorot, lantaran sifat partai yang sangat paternalistik dan sentralistik. Karenanya kelompok perempuan memiliki kepentingan besar untuk turut serta dengan DPD dan koalisi ornop dalam mengusulkan judicial review atas UU Pemilu yang baru disahkan ini.

Berbagai tugas lainnya setelah pengesahan UU Parpol pada tanggal 6 Desember 2007 dan kedua UU Pemilu pada tanggal 3 Maret 2008 yang lalu, kelompok perempuan masih masih harus mengawal pembahasan RUU Susduk dan RUU Pilpres. Perlu dipahami juga oleh masyarakat dan seluruh kelompok kepentingan bahwa dalam UU Parpol pasal yang signifikan bagi perempuan ada di dalam Bab II pasal 2 ayat 2 dan pasal 5 yang intinya adalah parpol menyertakan 30 % perempuan dalam pendirian, pembentukan dan pengurusan parpol. Namun mengingat tidak adanya sanksi, maka kelompok perempuan masih harus memantau satu persatu tiap parpol, hingga Pemilu 2009, sudahkah mereka memasukkan 30% perempuan dalam pendirian maupun kepengurusan. Dan lalu sanksi moral yang bisa dilakukan adalah dengan mengumumkannya di media massa. Banyak ketentuan yang berkaitan dengan 30 % juga masih harus disempurnakan dalam PP yang harus selesai dengan tenggat waktu enam bulan sesudah presiden mengesahkan nomer UU Parpol tersebut.

Sedangkan untuk UU Pemilu, pasal penting bagi nasib keterwakilan perempuan Indonesia ada di dalam Pasal 62 ayat 2 yang mengadopsi sistem zipper dan berbunyi setiap tiga orang dalam daftar calon legislatif, satu harus berjenis kelamin perempuan.

Meski UU Parpol tanpa sanksi dan UU Pemilu masih harus diuji kesaktiannya apakah dengan sistem zipper 3:1 akan benar-benar mampu mendongkrak keterwakilan 30% perempuan, serta satu RUU lagi yakni RUU Susduk yang baru akan dimulai pembahasannya di bulan Maret ini, namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia telah mencapai satu kemajuan yang besar dalam berniat untuk meningkatkan partisipasi perempuan di ruang politik dengan jaminan dua UU ini.

Sebab jika kita merefleksi ke belakang, sesungguhnya mengadvokasi isu ini bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Mulai di awal perjuangan gerakan perempuan yang dianggap mengemis-emis kursi, hingga pertanyaan yang agak sinis pula: “Mengapa hanya 30% mengapa tidak lebih dari itu?” Dari pihak parpol juga kerap beralasan bahwa tidak ada stok perempuan yang layak dijadikan caleg.

Semua pandangan miring juga belum usai hingga disitu. Bahkan manakala UU Parpol telah disahkan, opini publik terpecah. Sebagian gembira, sebagian lagi curiga. Parpol kecil bahkan berpendapat bahkan ketentuan 30 % dalam pendirian dan kepengurusan partai adalah salah satu taktik untuk mengebiri partai baru. Sementara kelompok intelektual mengatakan bahwa perempuan sudah terlalu banyak diakomodir. Salah seorang peneliti dan pengamat politik bahkan menyatakan di media bahwa ratusan dana dihabiskan dalam pembahasan UU Parpol, hasilnya ‘hanya’ kuota. Mindset semacam ini memang masih sulit untuk dibongkar di Indonesia. Perjuangan perempuan agar representasinya meningkat dianggap ‘terlalu mengada-ada’. Tindakan khusus sementara dianggap tidak layak untuk diperjuangkan. Sementara di sisi sosio kultural masih beredar anggapan bahwa perempuan berpolitik tidak layak untuk didukung. Seorang tokoh masyarakat di Padang bahkan mengeluarkan pernyataan bahwa “Perempuan berpolitik sama dengan berzina”.

Sesudah UU Parpol berhasil disahkan. Perjuangan dalam pembahasan RUU Pemilu juga tak kalah alotnya. Ini dikarenakan kelompok perempuan dianggap sudah mendapat banyak di UU Parpol. Parpol juga menganggap bahwa hak untuk menentukan caleg adalah domain eksklusif parpol guna menolak tindakan afirmatif agar perempuan tidak diletakkan dalam nomer sepatu.

Karenanya, kini, meski kedua UU tersebut masih jauh dari sempurna, perempuan boleh sedikit berbangga, karena sudah bisa menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia telah berupaya keras untuk menyingkirkan rintangan-rintangan terberat bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam dunia politik. Dari perempuan sendiri, menghadapi berbagai tentangan kultur dan berbagai problematika internal partai, tokoh perempuan lain Iris Young mengingatkan, bahwa sudah saatnya bagi perempuan untuk menolak bersikap konformis. Kini saatnya berjuang untuk menyuarakan hak-hak kita dan terjun dalam dunia politik.

Ayo, maju terus perempuan Indonesia. Parpol butuh anda!

Tidak ada komentar: