Henny Irawati
Bertempat di Hotel Puncak Raya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan mengundang sejumlah stakeholder untuk berpartisipasi dalam ”Workshop Penyusunan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) Perlindungan Perempuan di Daerah Rawan Konflik/Bencana”. Dalam pertemuan yang diselenggarakan 25 s.d. 27 Maret 2008 tersebut diharapkan dapat terumuskan 3 buku saku, 3 poster, dan 3 leaflet.
Kegiatan dibuka Drs.
Sementara itu, Yulfita memaparkan mengapa perempuan penting diperhatikan dalam penanggulangan bencana. “Karena dari semua korban, kondisi perempuanlah yang paling buruk,” jelasnya. Padahal, dalam situasi bencana, perempuan justru memegang peran penting, yakni sebagai care giver dalam keluarga atau komunitas. Sayangnya, kondisi ini tidak didukung pola penanganan bencana yang sensitif gender. “Hal ini bisa juga disebabkan banyak pihak terkait yang masih belum tahu mengapa, apa, dan bagaimana (perspektif) gender dilibatkan dalam penanganan bencana.”
Satu contoh, ketika bantuan tiba, yang berhak mengakses bantuan tersebut adalah kepala keluarga, yang lazimnya berada di tangan laki-laki. Sepulang dari
Dalam diskusi panel kedua, Ichsan Malik dari Institut Titian Perdamaian memilah perbedaan antara bencana alam dan bencana (konflik) sosial, mulai dari akar permasalahan, ancaman, hingga dampak dan penangannya. Ichsan merekomendasikan pelibatan perempuan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai monitoring-evaluasi. Inisiatif juga perlu digalakkan antar-anggota masyarakat ataupun sesama kelompok perempuan. Ichsan mengusulkan membangun pusat-pusat informasi dan dokumentasi bagi kiprah perempuan dalam penanganan bencana.
Paparan-paparan yang disampaikan
Waktu yang pendek membuat target yang ditetapkan di atas mustahil dicapai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar