Minggu, 27 April 2008

Melindungi Perempuan di Daerah Rawan Bencana

Henny Irawati

Bertempat di Hotel Puncak Raya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan mengundang sejumlah stakeholder untuk berpartisipasi dalam ”Workshop Penyusunan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) Perlindungan Perempuan di Daerah Rawan Konflik/Bencana”. Dalam pertemuan yang diselenggarakan 25 s.d. 27 Maret 2008 tersebut diharapkan dapat terumuskan 3 buku saku, 3 poster, dan 3 leaflet.


Kegiatan dibuka Drs. Subagyo, MA, selaki Deputi Bidang Perlindungan Perempuan. Kemudian dilanjutkan diskusi panel I dan II. Diskusi Panel I menghadirkan pakar gender, DR Yulfita Rahardjo, dan dr Ernanti Wahyurini yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Menteri Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Ernanti menegaskan, sasaran KIE tersebut harus jelas. Apakah masyarakat luas, petugas lapangan, organisasi pendamping, atau pemerintah. Karena hal itu akan mempengaruhi bentuk KIE seperti apa yang paling tepat untuk disusun, katanya seusai menjelaskan model-model KIE.


Sementara itu, Yulfita memaparkan mengapa perempuan penting diperhatikan dalam penanggulangan bencana. “Karena dari semua korban, kondisi perempuanlah yang paling buruk,” jelasnya. Padahal, dalam situasi bencana, perempuan justru memegang peran penting, yakni sebagai care giver dalam keluarga atau komunitas. Sayangnya, kondisi ini tidak didukung pola penanganan bencana yang sensitif gender. “Hal ini bisa juga disebabkan banyak pihak terkait yang masih belum tahu mengapa, apa, dan bagaimana (perspektif) gender dilibatkan dalam penanganan bencana.”


Satu contoh, ketika bantuan tiba, yang berhak mengakses bantuan tersebut adalah kepala keluarga, yang lazimnya berada di tangan laki-laki. Sepulang dari sana, laki-laki yang tidak mengetahui benar kebutuhan perempuan dan anak-anak, tidak membawa susu ke rumah. Apabila perempuan turut dalam antrian penerima bantuan, dia ditolak karena dianggap bukan kepala keluarga. Pengalaman ini terjadi di beberapa daerah yang pernah mengalami bencana seperti Aceh.



Dalam diskusi panel kedua, Ichsan Malik dari Institut Titian Perdamaian memilah perbedaan antara bencana alam dan bencana (konflik) sosial, mulai dari akar permasalahan, ancaman, hingga dampak dan penangannya. Ichsan merekomendasikan pelibatan perempuan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai monitoring-evaluasi. Inisiatif juga perlu digalakkan antar-anggota masyarakat ataupun sesama kelompok perempuan. Ichsan mengusulkan membangun pusat-pusat informasi dan dokumentasi bagi kiprah perempuan dalam penanganan bencana.


Paparan-paparan yang disampaikan narasumber, ditambah dengan teknik edukasi dalam KIE sebagaimana dijabarkan Dewi Salma Prawiradilaga, pengajar Universitas Negeri Jakarta, menjadi bahan bagi peserta yang terdiri wakil pemerintah—antara lain Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Pendidikan Nasional, Bakornas, Bakorsurtanal, dll.—dan wakil Ormas serta LSM—seperti PGI, Aisyiyah, Muamalat, dan Lembaga Partisipasi Perempuan—untuk membahas bahan buku saku, leaflet, dan poster untuk KIE Perlindungan Perempuan di Daerah Bencana yang dibagi dalam dua tahap; prabencana dan paskabencana.


Waktu yang pendek membuat target yang ditetapkan di atas mustahil dicapai. Pembahasan KIE Perlindungan Perempuan di Wilayah Konflik rencananya akan dilaksanakan bulan April. “Pertemuan mendatang akan lebih dititikberatkan pada Resolusi 1325,” papar Budi Mardaya dari KPP.


Tidak ada komentar: